Pengamat: Wacana Capres-Cawapres Uji Baca Quran Tanda Menguatnya Politik Identitas

TERASLAMPUNG.COM — Direktur Ekskutif Indonesian Public Isnstitute (IPI) Karyono Wibowo menilai uji baca Al Quran bagi dua pasangan capres-cawapres pertanda menguatnya politik identitas. Dalam siaran persnya yang diterima teraslampung Minggu (30...

Pengamat: Wacana Capres-Cawapres Uji Baca Quran Tanda Menguatnya Politik Identitas
Direktur Ekskutif Indonesian Public Isnstitute (IPI) Karyono Wibowo

TERASLAMPUNG.COM — Direktur Ekskutif Indonesian Public Isnstitute (IPI) Karyono Wibowo menilai uji baca Al Quran bagi dua pasangan capres-cawapres pertanda menguatnya politik identitas.

Dalam siaran persnya yang diterima teraslampung Minggu (30/12) Karyono Wibowo juga mgatakan tes baca Alquran sebenarnya tak ada dalam undang-undang tentang Pemilu maupun Peraturan KPU (PKPU).

“Munculnya ide tes baca Al qur’an bagi pasangan capres-cawapres ini tidak lepas dari menguatnya politik identitas yang ditandai dengan mencuatnya simbul-simbul agama. Sejak pilkada DKI Jakarta.”

“Dalam konteks undangan dari Dewan Ikatan Dai Aceh ke dua pasangan capres-cawapres tidak ada kewajiban untuk hadir. Namun, jika capres-cawapres mau hadir di uji baca Alquran untuk meyakinkan rakyat Aceh, maka hal itu berpulang kepada masing-masing capres,” ungkapnya.

Menurut Karyono, politik identitas dan isu SARA mulai dimainkan pada masa pilpres 2014 dan yang dihantam dengan isu tersebut adalah Jokowi. Saat itu Jokowi dituduh keturunan Cina hingga kader PKI. Pada pilpres 2019 ini Prabowo Subiyanto pun tak luput dari isu agama juga.

“Kita masih ingat bagai mana pak Jokowi dihantan berbagai isu yang berbau SARA, macam-macam opini dibangun untuk mendelegitimasi keislamanya.”

“Sekarang pak Prabowo yang kena juga bagaimana isu yang dibangun soal keraguan keIslaman beliau hingga tidak bisa menjadi imam sholat,” ujarnya.

Akhirnya, masih kata Karyono pihak-pihak yang terlibat dalam kontestasi pemilu 2019 ini mulai terjebak dengan suasana politik identitas. Hal ini membuat demokrasi kita mengalami defisit.

“Pemilu yang seharusnya menjadi perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih calon pemimpin yang berkualitas dan berintegritas akhirnya bergeser menjadi sekadar caci maki yang penuh ujaran kebencian.”

Selain itu, Karyono mengingatkan dampak dari menguatnya politik identitas bisa merusak esensi demokrasi dan mendorong segregasi sosial, isu SARA berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa.

“Saya berharap, semua pihak terutama elit politik harus segera menghentikan semua jenis narasi kampanye yang berbau SARA. Karena hal ini bisa berdampak luas terhadap persatuan dan keutuhan bangsa,” pungkasnya.

Dandy Ibrahim