Pemerintah akan Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Tragedi Talangsari Secara Non-Yudisial
TERASLAMPUNG.COM — Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (TPPHAM) menggelar Focus Group Discussion (FGD) tentang Pelanggaran HAM Berat di Talangsari, Lampung Timur pada 1989, di Hotel Golden Tulip, Bandarlampung, Selasa...

TERASLAMPUNG.COM — Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (TPPHAM) menggelar Focus Group Discussion (FGD) tentang Pelanggaran HAM Berat di Talangsari, Lampung Timur pada 1989, di Hotel Golden Tulip, Bandarlampung, Selasa (15/11/2022).
FGD yang dimoderatori oleh penulis buku tentang tragedi Talangsari, Fadilasari, ini menghadirkan lima narasumber. Yakni Dr. Hieronymus Soerja Tisnanta (FH Unila), Rifian A Cepy (Sekretaris Kesbangpol Lampung Timur), Fikri Yasin (Koordinator Smalam), Ali (Wakil Direktur LBH Bandarlampung), dan Siti Khoiriyah (akademisi HTN Unila pendamping korban).
Ketua TPPHAM, Makarim Wibisono, mengatakan pihaknya menindaklanjuti Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 terkait Pembentukan Tim PPHAM Berat Non-Yudisial untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat termasuk Tragedi Talangsari yang terjadi pada 1989.
“Maksimal 31 Desember 2022, kami harus melaporkan kepada Presiden tentang apa yang harus dilakukan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, ada tiga tugas yang diemban TPPHAM. Yaitu melakukan pengungkapan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat lewat nonyudisial, menghasilkan rekomendasi untuk memulihkan korban, dan membuat rekomendasi agar pelanggaran HAM berat itu tidak terjadi lagi.
Terkait tugas TPPHAM, pakar Hukum Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada, Prof Zainal Arifin Mochtar, mengatakan penyelesaian lewat nonyudisial ini diharapkan jadi alternatif di samping penyelesaian lewat pengadilan.
Menurutnya, penyelesaian kasus pelanggaran HAM lewat pengadilan prosesnya tidak sederhana dan cenderung lebih sulit didorong.
“Keppres Nomor 17/2022 ini agak terlalu bombastis. Kami bukan buta pada kepentingan politik. Kami menerima tim ini agar korban tidak jatuh berkali-kali. Korban ini kasihan jika jatuh berkali-kali.tTm ini akan menyelesaikan kasus Talngsariagar dapat nama lengkap korban. Dan kami akan coba sebisa mungkin menyelesaikan korban secara menyeluruh. Talangsari dimensinya lebih sederhana dibandingkan kasus G 30 SPKI yang sangat tidak sederhana dimensinya,” ujar Zainal.
Menurutnya, peradilan HAM harus bisa memberikan jaminan korban bisa mendapatkan hak- hak konstitusional dari negara.
“Negara harus mengakui melakukan pelanggaran HAM di masa lalu bahkan harusnya minta maaf. Contohnya kasus Timor Timor yang menang di pengadilan tingkat pertama, tapi ketika naik banding dan kasasi akhirnya bebas. Ini terjadi karena Undang-Undang kita masih lemah,” jelasnya.
Meskipun pesimis terhadap pemerintah dan kejaksaan, ia menegaskan penyelesaian lewat jalur yudisial atau pengadilan harus tetap berjalan.
“Yang membuat akhirnya kami terima walaupun tidak ideal, agar tidak membiarkan korban tidak jatuh berkali-kali. Negara mengakui bahwa ada pelanggaran HAM, yang paling kita sepakati seperti dalam keppres adalah hak bagi korban,” katanya.
Koordinator SMALAM Fikri Yasin menolak keberadaan tim TPPHAM yang datang ke Lampung.
“Cabut dulu Keppres nomor 17/2022 yang diterbitkan pada Agustus 2022 soal hak eksosof.Bagi kami tim ini cuma lipservise,kami menolak keberadaan tim investigasi dari kemenhukham ini,” katanya.
Hal yang sama juga diungkapkan Wakil Direktur LBH Bandarlampung Ali, yang menolak penyelesaian melalui jalur nonyudisial.
“Pada prinsipnya pemerintah hanya melakukan pemetaan dan pemulihan. Belum ada putusan tapi sudah ada proses rehabilitasi. LBH sebagai pendamping masyarakat menolak penyelesaian melalui jalur nonyudisial,” ujar Ali.
Sedangkan Tisnanta mengaku pesimis tim TPPHAM mampu menyelesaikan masalah ini.
“Masyarakat perlu didengarkan kembali, perlu pemetaan lagi. Proses administratif ini tidak bisa menyelesaikan masalah di Talangsari. Saya tidak mau ada perdebatan menerima atau mrnolak tim dari TPPHAM . Proses penyelesaian secara yudisial harga mati. Bagaimana kita mendengarkan curhatan teman -teman sebagai tonggak agar kasus ini tidak terjadi kembali . Penyelesaian kasus Talngsari agar melalui yudisial gak selalu lewat pengadilan dan jangan dipecah belah serta diadu para korban,” jelasnya.
Peristiwa Talangsari adalah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 7 Februari 1989. Nama Talangsari diambil dari tempat terjadinya peristiwa ini. Talangsari adalah sebuah dusun di Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur.
Peristiwa Talangsari terjadi karena penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Saat itu, pemerintah, polisi, dan militer menyerang masyarakat sipil di Tamansari.
Catatan Komnas HAM, Peristiwa Talangsari menewaskan 130 orang, 77 orang dipindahkan secara paksa atau diusir, 53 orang haknya dirampas secara sewenang-wenang, dan 46 orang mengalami penyiksaan. Jumlah korban secara pasti tidak diketahui hingga saat ini.
Mas Alina Arifin