Pembangunan yang tidak Membangun
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung Saat mengawasi dan mendampingi mahasiswa pascasarjana program doktor di Universitas Islam Negeri terkenal di daerah ini, penulus sempat membaca berita heboh pengalihfungsian lahan diperkotaan....

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Saat mengawasi dan mendampingi mahasiswa pascasarjana program doktor di Universitas Islam Negeri terkenal di daerah ini, penulus sempat membaca berita heboh pengalihfungsian lahan diperkotaan. Berita ini menyeruak ke permukaan dengan pemicu adalah beralihnya kawasan hijau kota menjadi kawasan perdagangan dan pemukiman. Hampir semua media memuat berita ini dari yang online sampai yang konvensional.
Tulisan ini dibuat saat akan diadakannya pertemuan pihak pengembang dengan masyarakat terdampak. Bagaimana hasilnya kita tunggu bersama, karena seharusnya pertemuan seperti itu pemerintah hadir sebagai representasi tanggungjawab kepada warganegaranya. Namun sudah bisa diduga hasilnya bahwa pengembang selalu ada pada posisi yang diuntungkan; sebab dari segala hal mereka punya. Bukti awal sudah dapat kita baca, belum ada woro-woro kemasyarakat sekitar, alat berat sudah bekerja meratakan dan menimbun lahan. Setelah dihebohkan, baru pengembang bergerak mendekati warga. Anehnya lagi alih fungsi lahan itu terkesan ujug-ujug dan pemerintah daerah asyik-asyik saja.
Ada yang lebih menarik dari peristiwa ini ialah; ada pertanyaan tersisa sudah berapa banyak lahan yang teralihfungsikan di daerah ini; dan berapa banyak lahan yang mangkrak karena pembangunan yang tidak berkelanjutan, kata lain dari perencanaan yang tidak terencana. Tentu hal ini menjadi perdebatan, baik dari sudut pandang teknis apalagi politis, dan masing-masing ingin menang sendiri.
Alih fungsi lahan sudah dirisaukan oleh para pendahulu di era Orde Baru; karena banyaknya lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi non-pertanian. Bahkan pada masa itu muncul istilah “lapar lahan” yang labelkan kepada para pemilik modal yang ingin selalu memiliki lahan untuk kepentingan bisnisnya. Seminar Nasional Transmigrasi yang digagas oleh Prof.Muhajir Oetomo di era 90-an; sudah banyak membahas alih fungsi lahanbeserta dampaknya, dan sayangnya dokumen yang sudah dibuku-kan itu tinggal tersusun rapi di rak-rak perpustakaan.
Alih fungsi lahan ini berdampak pada alih budaya kehidupan; misalnya semula petani beralih menjadi tenaga buruh pabrik, dan atau lainnya. Tentu saja bersulihnya pekerjaan ini menjadikan bersulihnya juga tata nilai kehidupan dalam masyarakat. Hal ini ditandai dengan semakin menyempitnya lahan pertanian produktif, yang tentu juga berdampak pada munculnya budaya baru; salah satu diantaranya adalah budaya merantau.
Jika pada masa lalu masyarakat Bugis pergi merantau atau bahasa setempat disebut masomppak, sebagai representasi harga diri laki-laki orang Bugis. Untuk sekarang tampaknya pergi merantau ke negeri orang sebagai tenaga kerja, adalah jalan keluar pemenuhan kebutuhan ekonomi, akibat dari ketidakcukupan lahan pertanian di daerahnya; untuk masyarakat agraris seperti Lampung, thesis itu patut untuk diuji. Pilihan menjadi Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri sebagai pilihan utama bagi mereka yang daerahnya mengalami penyempitan lahan akibat alih fungsi, adalah suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri. Adagium Jawa yang mengatakan: orang meninggalkan desa itu didorong oleh dua hal, pertama wirang, yang ke dua kurang.
Wirang terjemahan bebasnya adalah malu, namun disini memiliki arti luas; bisa malu karena tidak sama dengan tetangga lainnya secara ekonomi, atau ada sebab lain. Kurang juga memiliki pengertian yang luas: bisa kurang dari ilmu pengetahuan, atau juga secara ekonomi. Dua aspek inilah merupakan thesis mengapa orang jawa mau meninggalkan daerahnya. Konsep ini pernah didedah oleh Prof.Parsudi Suparlan almarhum.
Penelitian mini yang dilakukan oleh mahasiswa Pascasarjana Rudianto, yang juga adalah Kepala Sekolah SMP Swasta terkenal di Kota ini yang kampusnya ditepi jalan raya Soekarno Hatta, menemukan bahwa desa-desa ekstransmigrasi mengalami penyempitan lahan disebabkan karena faktor budaya dalam pembagian waris dengan pola “sepikul segendongan” yaitu anak laki-laki mendapat separoh, dan anak perempuan mendapat seperempat. Akibatnya generasi ketiga lahan sudah sangat sempit, kemudian dijual kepada investor, maka beralihlah fungsi lahan tadi. Disamping faktor pemekaran wilayah pemerintahan dan lain sebagainya; maka sempurnalah pengalihfungsian lahan tadi.
Penyempitan lahan dan pengalihfungsian lahan adalah dua hal yang berkelindan; penyempitan terjadi karena sistem pembagian waris, sehingga lahan yang semula luas menjadi terbagi dan menyempit; kemudian dialihfungsikan oleh pemilik modal karena adanya jual beli. Maka semakin sempurnalah alih fungsi tadi akibat adanya faktor pendorong dan penarik secara bersamaan.
Hal lain yang juga mendorong alihfungsi karena jumlah penduduk yang semakin banyak, dan memerlukan pemukiman yang memadai; sementara lahan tidak bertambah, maka pilihan mengalihfungsikan adalah pilihan yang paling dekat didepan mata. Peluang ini dimanfaatkan olah pemilik modal untuk menyediakan apa yang dibutuhkan. Belum lagi ditambah adanya permainan mata antara oknum pejabat dengan pemilik modal, sehingga pengalihfungsian lahan menjadi semakin sempurna penyimpangannya. Jika kita ingin sedikit mau menilik bagaimana kepemilikan areal di daerah Sukadanaham; maka sepuluh tahun ke depan daerah itu akan juga beralih fungsi dari daerah resapan menjadi daerah pemukiman.
Wilayah perdesaan dan perkotaan tampaknya memiliki nasib yang sama, yaitu banyaknya alihfungsi lahan yang berujung pada penyempitan lahan. Dan, itu tidak selesai pada masalah fisik saja, karena akan diikuti oleh perubahan budaya, nilai, tatalaku bagi masyarakat pendukungnya. Justu akibat sosial ini sering luput dari perhatian pengambil kebijakkan di negeri ini; dan tentunya akan berdampak pada munculnya persoalan sosial.
Mudah-mudahan alih fungsi lahan yang sedang terjadi di kota ini, menjadi pintu masuk para pemangku kepentingan dari legeslatif, eksekutif, dan yudikatif untuk menyatukan persepsi guna mengambil langkah penataan kedepan. Rakyat jangan didekati saat mau pemilu saja, namun ditinggal saat mereka dibelit oleh masalah lahan. Hal ini bisa kita simak tidak banyak calon legeslatif yang akan maju pada pemilihan didepan yang bernai mengusung issue lahan dalam kampanyenya. Daerah Way Halim dan sekitarnya yang memiliki sejarah panjang dari masa Wali Kota Edy Sutrisno akan ditata, namun sampai hari ini pola penataan itu terkesan masih setengah hati. Akhirnya adagium thesa yang mengatakan pembangunan yang tidak membangun, seolah menjadi terbukti.
Salam waras!