Menyambut Plutokrasi Politik Indonesia Pasca-2014
AE Priyono* Salah satu bukti bahwa trajektori politik demokrasi memiliki watak dan kecenderungan ilusif, juga di Indonesia, adalah diterimanya secara umum gagasan yang disebut “konsolidasi demokrasi.” Gagasan ini mencerminkan pandangan mainstream,...

AE Priyono*
Salah satu bukti bahwa trajektori politik demokrasi memiliki watak dan kecenderungan ilusif, juga di Indonesia, adalah diterimanya secara umum gagasan yang disebut “konsolidasi demokrasi.” Gagasan ini mencerminkan pandangan mainstream, seolah-olah transisi dari otoritarianisme juga berarti transisi menuju demokrasi. Teori-teori demokrasi menurut model transitologi dan/atau konsolidologi menjadi acuan dan rujukan utama gagasan ini. Teori-teori itu menyediakan pembenaran bagi meluasnya pandangan ilusif bahwa sehabis transisi akan terbitlah konsolidasi.
Menurut berbagai literatur mainstream, konsolidasi demokrasi dipahami sebagai proses terjadinya institusionalisasi demokrasi, yakni pembentukan dan perbaikan lembaga-lembaga demokrasi. Dalam tesis Linz dan Stepan (1996) demokrasi dianggap terkonsolidasi dengan munculnya lembaga-lembaga yang mendukung pemilu sebagai ajang kompetisi dan kontestasi politik. Faktor kedua adalah habituasi, yakni ketika mekanisme dan prosedur demokrasi diinternalisasi menjadi perilaku demokratik.
Rustow (1970) mengaitkan proses kedua ini dengan perilaku aktor yang mengikuti aturan-aturan formal demokrasi ketimbang meneruskan praktek-praktek politik informal. Habituasi juga dipahami sebagai terbentuknya kebudayaan demokratik, seperti pada Putnam (1993) yang melihatnya dalam kaitannya dengan social-capital yang demokratik; atau pada Fukuyama (1989) mengaitkannya dengan budaya politik liberal; atau pada Zakaria (2003) yang mengaitkannya dengan terbentuknya praktek konstitusionalisme. Kesemua teoretikus ini melihat institusionalisasi, habituasi, dan konsolidasi demokrasi sebagai kesatuan proses linier.
Tetapi sebagaimana ditunjukkan oleh banyak literatur lain, gagasan konsolidasi demokrasi memiliki setidaknya tiga problematik: pertama, gagasan itu didasarkan pada asumsi bahwa demokrasi harus (hanya) bekerja pada tingkat prosedural dan elektoral – sejenis demokrasi minimalis;
Kedua, gagasan itu juga mengidap bias teleologis bahwa proses demokratisasi berlaku relatif sama di mana-mana ke arah demokrasi liberal yang mendukung tatanan rezim pasar-bebas global – sebuah versi dari demokrasi kapitalis;
Ketiga, proses transisi dari otoritarianisme tidak berjalan linier, arahnya mengandung banyak sekali kemungkinan, dan itu sangat tergantung pada dinamika relasi-kekuasaan antar berbagai kekuatan sosial-politik.
Dengan meletakkan tema pembicaraan tentang “konsolidasi demokrasi” di dalam tiga konteks problematik di atas, tulisan ini ingin mengajak forum ini untuk membahas pengalaman demokrasi Indonesia selama satu setengah dasawarsa terakhir – persis sejak berakhirnya rezim otoritarian Orde Baru hingga sekarang. Bagi saya, pengalaman Indonesia pasca Orde Baru itu hanya menunjukkan kegagalan eksperimen demokrasi liberal, berupa pendangkalan makna kedaulatan rakyat menjadi sekadar sirkulasi kekuasaan partokratik melalui pemilu.
Dari praktek demokrasi prosedural-elektoral itu – di tengah-tengah tiadanya tradisi gerakan sosial-politik yang kuat untuk memajukan kepentingan publik dan partisipasi popular – sungguh naif membayangkan terjadinya konsolidasi untuk munculnya demokrasi substantif. Ini karena demokrasi membutuhkan partisipasi kerakyatan yang luas, di mana semua kelompok sosial dan politik mempunyai kesetaraan dan kapasitas untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya secara emansipatoris.
Pada kenyataannya yang terjadi justru adalah serangkaian political-impasses, berupa pembajakan demokrasi; termarginalisasinya kekuatan politik progresif; naiknya suatu golongan elite yang berasal dari kelas menengah parasit dan oportunis yang selama ini sangat tergantung pada negara; munculnya praktek politik kartel; dan akhirnya: rekomposisi dan rekonsolidasi oligarki. Bukan politik demokrasi yang muncul tapi politik oligarki.
Jadi, tak mau terseret pada cara pandang ilusif yang berisi fantasi-fantasi normatif mengenai bakal datangnya demokrasi liberal, tulisan ini ingin menawarkan perspektif lain yang lebih empiris untuk melihat kenyataan-kenyataan realpolitik demokratisasi Indonesia.
Tiga Babak Demokrasi Elektoral Indonesia (1999-2014)
Pertama-tama izinkan tulisan ini mengungkapkan bias penulisnya yang ingin memperlihatkan sisi gelap demokrasi Indonesia. Bekerja selama sekitar sepuluh tahun sebagai peneliti mengenai situasi demokrasi dan kondisi penegakan HAM di Indonesia sejak 2002, dewasa ini saya menyaksikan banyak bukti tentang kesimpulan bahwa Indonesia sedang memasuki wilayah abu-abu yang paling pekat di ujung transisi demokrasi elektoral periode ketiganya (2009-2014).
Pada periode pertama (1999-2004), situasi politik demokrasi Indonesia memperlihatkan euforia bangkitnya kekuasaan sipil partokratik, di mana partai-partai baru bermunculan dan kekuasaan terdesentralisasi di tangan politisi elitis. Periode ini menjadi tahap formatif bagi bangkitnya demokrasi elitis, dan dimulainya pembajakan atas institusi-institusi demokrasi oleh suatu kelas predatorial yang komponen utamanya terdiri dari birokrat lama dan politisi partai (Robison & Hadiz 2004). Pembajakan itu didukung oleh kelas menengah yang secara ekonomi sama sekali tidak independen. Mereka bukanlah kelas borjuasi – industrial maupun agraris – dalam pengertian seperti yang dulu menjadi avant-garde bangkitnya demokrasi Barat. Mereka juga tidak memiliki akar dalam gerakan sosial manapun. Mereka inilah para brandalan politik yang menikmati momentum liberalisasi tapi sekaligus sedang menyiapkan diri sebagai basis bagi oligarki. Riset kami di Demos (2004, 2005) mendefinisikan situasi periode elektoral pertama ini sebagai demokasi oligarkis berbasis partai – sebuah demokrasi partokratik tanpa representasi popular.
Periode kedua (2004-2009) menyaksikan tanda-tanda awal bagi terjadinya konsolidasi oligarki, yang kali ini ditopang oleh para bandit ekonomi peninggalan Orde Baru, dan yang ingin merebut kekuasaan politik secara langsung. Nexus antara kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi makin menyatu dan mengalami rekonsentrasi di tangan segelintir elit yang saling bersaing. Praktek politik kartel – di mana semua kekuatan politik saling bersaing untuk memperebutkan sumberdaya negara – makin menjadi-jadi. Negara makin disandera oleh kalangan elite politik dan ekonomi melalui pembajakan mekanisme-mekanisme formal demokrasi. Demokrasi elektoral-elitis semakin mapan. Bersamaan dengan itu, kaum oligark yang menguasai sumber-sumber kekuasaan makin mendominasi proses-proses politik. Di tingkat lokal, muncul pula demokrasi patronal yang berbasis pada kelas birokrat yang makin menguat (Klinken 2006), yang di beberapa tempat bahkan didukung oleh kaum elite lokal berbasis etnis.
Pada periode elektoral ketiga (2009-2014), transformasi penting terjadi. “Demokrasi oligarkis” mengalami metamorfose menjadi “oligarki demokratis” (Cho et.al. 2008). Ini menegaskan kesimpulan Winters (2013) yang melihat munculnya kekuatan-kekuatan oligark semakin kuat dan makin terkonsentrasi hanya di kalangan beberapa faksi. Inilah yang juga disebut sebagai oligarki elektoral di masa reformasi, menggantikan oligarki sultanistik di bawah Soeharto pada masa Orde Baru. Kekuatan-kekuatan oligark ini kini sudah sepenuhnya menguasai partai-partai, menguasai parlemen, menguasai media, tapi saling bersaing di antara sesama mereka sendiri. Pada periode ini kekuatan-kekuatan alternatif hampir sepenuhnya mengalami marginalisasi atau terserap ke dalam monopoli-monopoli kekuasaan politik dan ekonomi. Mereka menjalankan apa yang disebut “politics of order” – politik untuk menjaga kelangsungan rezim, sekaligus perlindungan kekayaan para oligarknya. Samadhi & Warouw [eds.] (2009) menandai periode ini sebagai babak terjadinya kemunduran-kemunduran demokrasi.
Stagnasi, Regresi, dan Reversi
Temuan-temuan di atas sejalan dengan studi Mietzner (2012) yang melihat bahwa perkembangan demokratisasi Indonesia bukannya makin membaik tetapi terus memburuk. Menurutnya, periode paling liberal pada masa reformasi hanya berlangsung selama lima tahun sejak 1999-2006, ketika institusi-institusi demokrasi dan jaminan hak-hak sipil dan politik mulai dimapankan. Tetapi sejak 2006 demokrasi Indonesia mengalami stagnasi, kemacetan. Berikutnya, sejak 2009 mulai terjadi regresi, kemunduran. Meitzner menunjukkan ada tiga gejala yang menunjukkan tanda-tanda kemunduran demokrasi itu, yakni: (i) pendangkalan mekanisme prosedural dengan semakin diperlemahnya KPU sebagai penyelenggara pemilu; (ii) penguatan status-quo rezim koruptif melalui diperlemahnya KPK; dan (iii) dirusaknya ketahanan masyarakat sipil dengan dibiarkannya konflik-konflik horisontal, misalnya melalui kekerasan komunal karena konservatisasi dan radikalisasi agama.
Namun demikian, selama dua tahun terakhir ini, sejak 2011, kita harus menyematkan status baru atas dua status yang diberikan sebelumnya oleh Mietzner, yakni reversi, pembalikan demokratik. Ini karena rezim ini sedang mulai menerapkan upaya-upaya untuk membalikkan arah demokrasi ke praktek-praktek otoritanisme. Ini misalnya berkaitan dengan disahkannya UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, setelah sebelumnya berusaha menggolkan RUU Keamanan Nasional. Dua legislasi itu jelas-jelas membuktikan upaya untuk kembali ke rezim otoritarian, sebuah desain untuk terus mengekang dan mengkriminalisasi suara-suara oposisi dari masyarakat sipil.
Jadi, alih-alih melahirkan proses menuju pendalaman demokrasi dan politik inklusi, rezim elektoral pasca Orde Baru semakin lama menjadi semakin anti-demokratis dan semakin ekslusioner. Di ujung perjalanan terakhir periode ketiga demokrasi elektoral Indonesia, yakni hari-hari ini, kita sedang menyaksikan gejala bangkitnya rezim oligarki-plutokratik-otoritarian untuk memonopoli semua sumber kekuasaan.
Pertanyaannya adalah, apakah memasuki periode elektoral keempat pada masa lima tahun mendatang (2014-2019), rezim oligarki-plutokratik ini masih akan bisa bertahan menghadapi krisis-krisisnya sendiri? Seperti apakah skenario ideal untuk mengembalikan rute demokrasi Indonesia agar tidak tersesat lebih jauh menuju reversi ke arah rekonsolidasi otoritarianisme?
Pemilu 2014: Arena Pertarungan Para Plutokrat Neo-Orde Baru
Kiranya penting membuat pemetaan baru untuk melihat apa yang bakal tergelar dalam periode keempat demokrasi elektoral Indonesia (2014-2019). Pertama-tama kita perlu mendefinisikan bahwa dalam sistem politik plutokratik manapun, ajang kontestasi politik selalu merupakan arena pertarungan kaum elite, kaum plutokrat. Dalam pengertian seperti itu, pemilu 2014 masih akan menjadi arena kompetisi dan kontestasi kalangan elite partai dan beberapa faksi oligark nasional. Secara keseluruhan mereka inilah yang bisa disebut sebagai lapisan plutokrasi dalam sistem politik kita. Mereka tidak menentang demokrasi sebagai mekanisme dan prosedur, tapi menguasai dan memanfaatkannya untuk memperebutkan kekuasaan negara.
Bagi kaum plutokrat yang menjadi ahli waris Orde Baru, arena ini merupakan medan pertarungan mereka yang terakhir. Mereka tersebar di hampir semua partai dan terus berusaha melakukan regenerasi. Dengan kata lain, semua partai sesungguhnya merupakan perpanjangan tangan mereka, sehingga bisa dikatakan bahwa sistem politik kepartaian yang kita kenal dewasa ini sebenarnya tak lebih dari representasi warisan kekuatan Orde Baru. Sampai di sini kita bisa membuat definisi kedua terhadap situasi ini, bahwa periode demokrasi elektoral keempat yang akan datang ini tetap masih merupakan ekstensi neo Orde Baru.
***
DALAM refleksi seperti itu, kita memang punya alasan kuat untuk frustrasi bahwa tidak akan ada perubahan penting selama lima tahun mendatang. Rezim oligarki-elektoral ini masih terlalu kuat menguasai semua sumber kekuasaan; sementara lapisan besar masyarakat pemilih kita di seluruh penjuru tanah air masih terlalu apatis dan tidak peduli (Vltchek 2013). Karena itu menjadi tugas kita semua untuk mencari peluang-peluang perubahan dalam rangka merancang arah baru demokrasi Indonesia; dan dengan dasar itu mencari sekutu-sekutu progresif membangun perlawanan demokratik untuk meruntuhkan oligarki. Ini karena demokratisasi sesungguhnya adalah gerakan demonopolisasi terhadap konsentrasi-konsentrasi kekuasaan elite. ***
*AE Priyono adalah Direktur Riset pada Public Virtue Institute. Tulisan ini pernah dimuat di note AE Priyono dan inspirasi.co