Membaca Dias: Membaca “Tanju” yang Bias
Oleh Mas Nakurat Darindo WANITA penyair, Dias Putri Samsoerizal meluncurkan kumpulan sajak pada 27 Oktober 2014. Peluncuran yang berbarengan dengan hajatan milad pertama Buletin STOMATA ini, berlangsung marak. Ada baca puisi, musikalisasi puisi, se...

Sejumput konsep tentang rima, dapat dimanfaatkan. Rima tidak melulu bergenit-genit sekedar bermain-main bunyi jadi sepadan. Rima justru dapat dimanfaatkan agar mampu menyugesti kefanaan makna.
Demikian pula diksi. Keberadaannya dapat dipicu untuk menyasar ide yang meledak-ledak dan menafsir segala makna. Bagi penyair, diksi adalah alat yang dapat diperani sejumlah muatan: eufonik, menegas gagas, dan dalam konteks lebih luas adalah wacana. Bagi penikmat sajak, diksi adalah wacana terbuka yang boleh dimaknai ketika dibacakan di pentas atau dibaca secara diam-diam.
Membaca sekumpulan sajak “Tanju” (“Tanpa Judul”) karya Dias Putri Samsoerizal adalah menatap pengalaman, menemu umpatan, meninju keadaan yang dikemas secara apik dalam larik-larik sajak. Sebuah sajak yang ditulis pada 22 Maret 2014 itu dengan renyah diucap:
jika merasa memiliki cerita indah
mengapa memilih berpisah?
jika memiliki cerita indah
mengapa makna pisah yang
kau unggah?
H U A H
hendak mengusik?
Tidak!
Tidak!
Tidak!
kalian hanya sekelumit riwayat
lalu
jadi, silakan
berlalu
riwayat kini hanya
milik kami
dan silakan kau
tetap berlalu
Kemenarikan kumpulan sajak ini semuanya tak bertajuk – tanpa menerakan judul (!). Penyair agaknya ingin memberikan hak asasi atau ruang terbuka bagi
para pengapresiasi sebagai pembaca atau penikmat sajak-sajaknya. Dua larik
sajak menarik berikut, bisa saja kita beri judul, misalnya: misteri aku takut pada malam karena pekatnya
Sebagai warga baru dalam persajakan, perjalanan kepenyairannya masih perlu diuji. Alam kelak akan menyeleksinya: apakah dia tergolong taat pada profesi yang menjadi pilihannya! ***