Kongres Kesenian III Tahun 2015: Kesenian dan Negara Dalam Arus Perubahan
Benny Yohanes* Sejak Reformasi 1998, setidaknya dalam mengadopsi visi alternatif menjalankan kekuasaan, realitas makro dalam kehidupan bernegara, secara kontras telah mengalami perubahan orientasi; dari orientasi kekuasaan yang sentralistik, berubah...

Benny Yohanes*
Perubahan prinsipil dalam praktik-praktik kesenian, ditandai diantaranya oleh semakin tumbuhnya komunitas-komunitas profesi seni yang semakin mandiri, yang orientasi nilai-nilai dan visi berkreasinya tidak lagi tergantung pada legitimasi birokrasi kesenian resmi. Ruang berkreasi yang semakin plural ini juga dicerminkan dalam bentuk-bentuk eksplorasi dan individuasi estetik, yang memunculkan derivasi konsep-konsep, variasi, pemuaian, dan pencanggihan medium seni; interaksi dan eksperimentasi lintas media, yang juga dipengaruhi oleh adopsi pada teknologi digital. Tetapi, vitalitas dan enerji praktik-praktik seni yang memuai dan menyebar ini, belum dibarengi dengan upaya pemetaan progresif, dan penguatan program makro pengembangan kesenian, yang seharusnya menjadi bentuk ‘politik kesenian’ yang dijalankan oleh pihak otoritas negara, sebagai cermin kehadiran negara dalam arus perubahan yang sedang terjadi.
Pemerintahan adalah sebuah keterampilan. Para pengelola kekuasaan negara harus memiliki ‘seni keterampilan bernegara’(statecraft). Seni keterampilan bernegara itu memungkinkan pihak penguasa mampu memahami bagaimana kekuasaan yang dijalankannya bekerja. Dalam menjalankan kekuasaan, pemerintah bisa saja didukung oleh sejumlah ‘intelektual kebijakan’. Fungsi ‘intelektual kebijakan’ itu, diantaranya adalah menyusun pemanfaatan kebijakan untuk meraih tujuan. Untuk dapat mengendalikan perubahan, pemerintah harus berkembang menjadi pemerintahan yang berpengetahuan luas (knowledgeable government).
Kebijakan adalah strategi. Dalam logika Machiavellian, tak soal apakah kebijakan itu benar atau salah, secara moral. Karena kebijakan dibuat untuk dilaksanakan, dan legitimasi yang paling nyata dari operasi kebijakan, adalah efektivitas. Menurut Machiavelli, efektivitas adalah mitos yang harus diyakini pemimpin, karena setiap kelompok elite yang berusaha bertindak secara ilmiah akan menghadapi dilema. Di tengah masyarakat yang sedang demam perubahan, pemimpin yang berusaha menjalankan efektivitas, dan mencoba bersikap ilmiah, mungkin terpaksa harus berbohong. Tetapi sulit untuk berbohong selamanya.
Karena itu, diperlukan gagasan jalan tengah, sebuah res mea. Dalam konsep Baconian, gagasan jalan tengah adalah bentuk pelaksanaan kekuasaan, yang tujuannya untuk mempertahankan otoritas dan legitimasi, harus dibangun oleh dukungan dan persetujuan. Kekuasaan adalah exercise of knowledge. Pengetahuan adalah kekuasaan, itulah diktum Francis Bacon yang terkenal. Jadi, kebijakan (policy) adalah strategi penggunaan pengetahuan untuk tujuan pemerintahan. Jika menurut Machiavelli, kebijakan adalah aktivitas untuk mempertahankan kekuasaan secara efektif, menurut Bacon, kebijakan adalah aktivitas untuk menjaga keseimbangan dan otoritas. Karena kekuasaan harus dibangun oleh basis pengetahuan yang kuat, maka dalam visi Baconian, para ilmuwan adalah otoritas yang paling tepat untuk memegang dan mengendalikan kekuasaan riil di dalam tatanan masyarakat.
Kemajuan tergantung kepada organisasi pengetahuan ilmiah. Pemerintahan tergantung kepada organisasi pengetahuan kebijakan. Dan tugas pemerintah adalah menjalankan seni penerapan dan penilaian pengetahuan. Legitimasi kebijakan harus dibangun dengan cara memfasilitasi keseimbangan kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Kebijakan adalah promosi ide-ide melalui organisasi. Ilmuwan, termasuk profesional seni, dapat terintegrasi dalam struktur kekuasaan sebagai organisasi ‘think-thank’. Itulah konsep yang ditawarkan F.A.Hayek. Menurut Hayek, pengetahuan objektif yang dibayangkan Bacon, tidak dapat berfungsi sebagai basis untuk merencanakan masyarakat secara ‘ilmiah’. Karena masyarakat, termasuk di dalamnya masyarakat kesenian, bukan sepenuhnya hasil desain manusia. Masyarakat juga dibentuk oleh tatanan spontan. Tatanan itu membentuk struktur majemuk, diantaranya karena pengaruh kreativitas dan pilihan-pilihan temporer, yang mudah berubah.
Karena itu, menurut Hayek, peran kebijakan publik harus bersifat terbatas. Pembuatan kebijakan ditujukan untuk memfasilitasi kebebasan personal, dalam kerangka aturan dan hukum yang berlaku. Apabila pembuatan kebijakan itu melibatkan peran negara, negara tidak boleh sampai menciptakan monopoli. Peran negara dalam perancangan kebijakan publik, adalah menstimulasi kompetisi; menciptakan kondisi di mana kekuatan-kekuatan publik (partai, organisasi profesi, pasar) bisa bekerja secara efektif dan efisien, untuk mengalokasikan sumber daya masing-masing.
Kerangka pemikiran terkini dalam konsep kebijakan publik dan reposisi peran negara, adalah konsep ‘komunitarianisme’. Gagasan intinya berdasarkan pada keprihatinan masyarakat modern, yang terpecah-pecah (atomised), sehingga kehilangan sense of community dan solidaritas sosial. Hal itu akibat merajalelanya individualisme pasar. Liberalisme politik dan ekonomi, cenderung mementingkan diri sendiri, lebih mementingkan hak ketimbang kewajiban, sehingga menciptakan tipe masyarakat ‘gurun sosial yang teralienasi’.
Komunitarianisme memandang perlunya penekanan baru kepada individu empatis dan tanggung jawab, kepekaan moral, penghentian sentimen dan perendahan terhadap perbedaan. Komunitarianisme mempromosikan filsafat yang fleksibel, untuk merevitalisasi peran solidaritas, persaudaraan untuk saling membantu; dengan kredo moral baru yang menekankan kebanggaan sipil, kewajiban sosial dan etik tradisi. Dari posisi ini, pemikiran Amitai Etzioni mengemuka.
Ide ‘komunitas’(community) dapat dilihat sebagai respons terhadap sentralisme negara dan individualisme pasar bebas. Di sini, komunitas dapat berperan untuk mengimbangi efek acqusitive society, kesukaan berlebihan pada hal-hal yang baru, yang ditandai oleh konsumsi berlebihan dan sikap permisif. Dalam pandangan komunitarian, negara yang kuat tetapi terbatas, harus dipertahankan. Dengan menerapkan prinsip subsidiary, tugas-tugas lain negara, harus diserahkan kepada individu, keluarga dan komunitas. Ini perlu untuk mengembangkan rasa tanggung jawab personal sekaligus tanggung jawab kolektif masyarakat. Tanggung jawab untuk setiap situasi, pertama-tama jatuh pada mereka yang paling dekat dengan persoalan. Jika memang persoalannya terlalu besar, barulah negara diperbolehkan terlibat. Dalam paradigma Etzionian, pembuat kebijakan harus mengubah kebijakan, dengan memberi penekanan lebih besar kepada tanggung jawab personal, ketimbang hak personal. Pentingnya pelayanan komunitas adalah untuk mengatasi semakin luasnya fragmentasi masyarakat modern.
Etzioni memandang, transformasi personal dan sosial, berakar dalam tindakan bersama dari komunitas, yang mentransformasikan dirinya sendiri. Masyarakat yang transformatif adalah sifat masyarakat aktif (active society), yaitu masyarakat yang berusaha ‘mengetahui dirinya sendiri’, dan menggunakan pengetahuan tentang ‘pengetahuan tentang diri’ itu, untuk mengubah realitas sosial. Penekanan Etzioni pada ‘komunitas’ harus diletakkan dalam konteks kepercayaannya kepada peran pengetahuan dalam proses melahirkan kebijakan publik, yang lebih autentik dan terbuka.
Masyarakat harus lebih terlibat dalam ‘menguji’ pengetahuan. Masyarakat juga aktif selaku ‘komunitas asumsi’, menumbuhkan hipotesis dan prediksi, dalam mengkerangkai pembuatan keputusan. Elite pengetahuan—kaum intelektual, pakar, politisi—dalam masyarakat aktif, yang dibayangkan Etzioni, harus berinteraksi dengan publik, dalam upaya perbaikan dan pengujian realitas, secara kolektif. Konsep ‘komunitas’ menjadi bentuk alternatif untuk pasar yang terliberalisasi, dan birokrasi yang defensif.
Konsep Etzioni terdukung oleh gagasan Habermas. Habermas mengajukan kemungkinan rasionalitas dalam memecahkan problem sosial. Habermas menolak bentuk rasionalitas instrumental, dan mengajukan model alternatif, yaitu konsep ‘rasionalitas komunikatif’. Habermas menggeser perspektif dari konsep nalar yang terindividualisasikan (hubungan dominatif Subjek-objek), ke konsep penalaran yang terbentuk dalam komunikasi intersubjektif. Ketika kita mengalami pluralisasi dan fragmentasi sekaligus, atau bentuk ‘kehidupan bersama yang berbeda-beda’, hidup dalam ketegangan antara solidaritas dan diferensiasi, perlu mencari cara menemukan kesepakatan menangani persoalan kolektif, melalui rasa saling memahami (mutual understanding).
Nalar (reason) bukan alat untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan secara objektif. Nalar, dalam konteks Habermasian, adalah proses untuk mendapatkan pemahaman bersama dalam suatu konteks sosial. Dalam tingkat teoritik, model ‘rasionalitas komunikatif” Habermas menegaskan perlunya perhatian yang lebih besar kepada cara-cara penggunaan bahasa, emansipasi diskursus dan keterbukaan argumen. Sedang pada level praktis, teori Habermas dapat menjadi basis etik untuk memvitalkan ‘situasi perbincangan yang ideal’, melalui pendekatan interkomunikatif.
Pendekatan komunitarian menganggap penggunaan sektor sukarela akan lebih menumbuhkan sense of community Tetapi hubungan yang makin erat dan kohesif antara negara dengan komunitas, khususnya yang termasuk dalam sektor ‘sukarela’ (voluntary), atau ‘nonprofit’, atau ‘sektor ketiga’, memiliki konsekuensi juga. Konsekuensi dari hubungan baik ini, adalah hilangnya arah dan independensi komunitas, dan digeser oleh kesibukan mencari peluang finansial, yang menyebabkan moral rendah dan turunnya harga diri. Kontribusi komunitas sebagai pengkritik pemerintah akan melemah, karena adanya ‘budaya kontrak’ (contract culture), dimana kritik dari komunitas berpotensi hilangnya dana dan kontrak dari pemerintah.
Karena itu, Lindblom mengajukan konsep ‘self-guiding society’ atau masyarakat yang memandu diri sendiri. Dalam konsep ini, semua pengetahuan, dianggap tidak konklusif. Untuk beberapa problem sulit, dibutuhkan pembelajarn intensif di kalangan warga negara. Tak ada solusi yang sepenuhnya tepat. Yang ada adalah rencana solusi yang ‘disusun dengan baik’. Temuan-temuan solusi bisa tercapai melalui proses langkah demi langkah, trial and error. Self-guiding society harus memberi ruang emansipasi untuk pemecahan problem, dan bukan menyerahkan problem kepada para ‘solution makers’. Karena solusi selalu terkait dengan realitas ruang-waktu, tidak ada solusi universal.
Dalam konteks ini, sumbangan Karl Popper masih nampak relevan. Popper berpendapat bahwa metode ilmiah, sebagai basis untuk membangun solusi, tidak terdiri dari proses pembuktian logis, berdasarkan akumulasi fakta dan bukti. Popper menolak gagasan Bacon, bahwa pengetahuan ilmiah adalah ‘fakta eksis terpisah dari persepsi, nilai, teori dan solusi’. Popper melihat bahwa struktur pengetahuan lebih berada dalam setting dimana teori dapat difalsifikasi. Dalam masyarakat terbuka (open society), pengetahuan tak pernah final, dan hakikat pengetahuan selalu bersifat perkiraan (conjectural). Masyarakat terbuka menggunakan argumen sebagai alat sosial untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian rasional, dan tidak hidup dari skema-skema utopian yang dimistifikasi. Menurut Popper, kemajuan sosial adalah siklus eksperimentasi trial and error, melalui mekanisme’rekayasa sosial sedikit demi sedikit’ (piecemeal social engineering).
Masyarakat kesenian, sebagai realitas sosial-historis, dibangun oleh kemajemukan nilai, orientasi kepentingan, dialektika kreativitas, konsep-konsep solusi, dan melintasi rangkaian generasi komunitas dan pelaku seni, yang berhadapan dengan problem internal dan eksternal yang berbeda. Masyarakat kesenian adalah bagian dari realitas dan semangat ‘masyarakat terbuka’, dan selayaknya mengelola diri sebagai self-guiding society. Pendekatan komunitarian, untuk menumbuhkan kembali sense of community adalah perekat nilai, yang telah menunjukkan fungsi sebagai bagian dari model regulasi sosial. Ekspresi artistik seni, baik sebagai manifestasi personal maupun sebagai realisasi nilai kolektif, adalah bentuk-bentuk keberdayaan personal dan sosial, untuk menunjukkan bahwa kreasi seni berfungsi sebagai alat dan nilai, untuk melakukan penyesuaian dan transformasi pengalaman individu dan perubahan sosial.
Keindonesiaan, sebagai lanskap kebudayaan, adalah realitas ‘kehidupan bersama yang berbeda-beda’, menghadapi bentuk-bentuk dan intensitas ketegangan antara solidaritas dan diferensiasi. Sebagai bagian dari realitas masyarakat modern, keindonesiaan juga mengalami pluralisasi dan fragmentasi sekaligus. Solusi untuk persoalan makro kesenian, tidak dapat diserahkan pada elite ‘intelektual kebijakan’ atau elite ‘pemecah persoalan’. Jika kemajuan sosial adalah siklus eksperimentasi trial and error, melalui mekanisme’rekayasa sosial sedikit demi sedikit’, masyarakat kesenian perlu mencari cara menemukan kesepakatan menangani persoalan-persoalan kolektif kesenian, melalui rasa saling memahami (mutual understanding).
Di sisi lain, negara sebagai realitas yuridis-institusional, adalah wujud transformasi kekuatan masyarakat; negara adalah wujud bisosiasi dan sivilisasi ideologis-kultural, yang berakar dalam komitmen dan tindakan bersama dari berbagai shareholder yang membangunnya. Masyarakat kesenian adalah bagian tak terpisahkan dari shareholder negara. Karena itu, negara sebagai manifestasi rasionalitas publik, dalam memecahkan problem sosial, harus menolak penggunaan bentuk-bentuk rasionalitas instrumental, dan mengajukan model alternatif, yaitu konsep ‘rasionalitas komunikatif’. Rasionalitas instrumental hanya mendukung lahirnya institusi-institusi hirarkis, menurunkan aturan dan regulasi defensif, dan bekerja sebagai alat-represi untuk menjalankan perangai kekuasaan ke arah penyeragaman.
Konsep ‘rasionalitas komunikatif’, mewajibkan negara tidak boleh sampai menciptakan monopoli. Peran negara dalam perancangan kebijakan publik untuk tatakelola pembangunan kesenian, adalah menstimulasi kompetisi; menciptakan kondisi di mana kekuatan-kekuatan publik, yang menjadi representasi dan artikulasi kepentingan seni, bisa bekerja secara efektif dan efisien, untuk mengalokasikan dan mengaktualisasikan sumber daya masing-masing. Negara bukan otoritas sentral kekuasaan. Negara juga bukan pusat ideologisasi pengetahuan. Negara harus mampu dan wajib membuka ruang komunikatif bagi partisipasi publik. Pada titik inilah, sebuah ‘politik kesenian’ yang seyogyanya dijalankan negara, dapat menunjukkan sifat humanisasi politik itu sendiri, sesuai sifat, harkat dan tradisi kesenian humanis, yang hendak dibangunnya.
*Benny Yohanes adalah Ketua Panitia Pengarah KKI 2015