Konflik Lahan di Lampung Tengah, LBH Bandarlampung Minta Hentikan Narasi yang Perlemah Perjuangan Rakyat Anak Tuha
Teraslampung.com — LBH Bandarlampung minta polisi dan pihak lain untuk menghentikan narasi yang melemahkan perjuangan rakyat Anak Tuha dengan cap “Provokator” dan “Ditunggangi”. Hal itu disampaikan Kepala Advokasi LBH Bandarlampung, Prabowo Pam...

Teraslampung.com — LBH Bandarlampung minta polisi dan pihak lain untuk menghentikan narasi yang melemahkan perjuangan rakyat Anak Tuha dengan cap “Provokator” dan “Ditunggangi”.
Hal itu disampaikan Kepala Advokasi LBH Bandarlampung, Prabowo Pamungkas, Selasa, 19 Agustus 2025.
Prabowo menanggapi pernyataan Kapolres Lampung Tengah yang menyatakan “telah mengantongi nama-nama oknum provokator” dalam aksi spontan masyarakat tiga kampung dari Kecamatan Anak Tuha menanam pohon di lahan yang disebut sebagai milik PT BSA.
Menurut Prabowo, aksi warga itu dilakukan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan dengan melakukan penanaman di lahan konflik dengan PT BSA adalah bentuk nyata dari upaya negara mengalihkan isu dan pokok permasalahan yang terjadi.
“Alih-alih menyelesaikan akar konflik agraria yang telah berlarut-larut selama puluhan tahun, aparat justru melemahkan perjuangan rakyat dalam menuntut hak atas tanah dengan menebar stigma provokator dan seolah memposisikan masyarakat sebagai korban yang ditunggangi kepentingan segelintir orang,” kata Prabowo.
Aksi penanaman yang dilakukan masyarakat tiga desa itu, kata Prabowo, merupakan bentuk ekspresi dari rakyat yang berusaha merebut kembali ruang hidupnya yang dirampas oleh korporasi.
*Menyebut bahwa adanya orang sebagai provokator adalah cara klasik negara dan aparat hukum untuk menutup mata dari sejarah panjang konflik agraria dengan PT BSA, yang sejak lama merampas hak hidup ribuan keluarga petani di Anak Tuha,”katanya.
Menurutnya, pernyataan Kapolres Lampung Tengah mencerminkan watak aparat yang lebih sibuk melayani kepentingan modal daripada mengayomi rakyat. Aparat penegak hukum seharusnya hadir menyelesaikan konflik agraria secara adil, bukan justru memperdalam jurang penderitaan rakyat dengan melakukan kriminalisasi dan memburu “oknum-oknum” yang dikonstruksi secara sepihak.
“Tuduhan provokator hanya akan melanggengkan represi, membungkam solidaritas rakyat, serta menjauhkan jalan penyelesaian yang berkeadilan,” kata dia.
Prabowo menilai, keberpihakan Polres Lampung Tengah pada gurita bisnis perkebunan di Lampung ini semakin kental setelah munculnya panggilan pemeriksaan sebagai saksi (penyidikan) kepada 8 masyarakat tiga kampung.
Menurut Prabowo, penanganan laporan yang sangat cepat oleh Polres Lampung Tengah mengundang tanda tanya besar.
“Tidak ada 24 jam pasca kegiatan masyarakat, surat pemanggilan sudah tiba di rumah warga pada sore harinya. Ironis, laporan polisi dengan nomor LP/B/50/VIII/2025/SPKT/POLSEK Padang Ratu/POLRES Lampung Tengah tertanggal 17 Agustus 2025 langsung dinaikkan ke tahap penyidikan,”katanya.
Sementara itu, berdasarkan catatan LBH Bandar Lampung dalam mendampingi rakyat miskin dalam membuat laporan polisi setidaknya terdapat 10 laporan polisi yang tersebar di Kepolisian wilayah hukum Polda Lampung yang sudah berjalan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun tapi tidak kunjung mendapatkan kepastian terhadap penanganannya kepolisian.
“Ini bukti nyata bagaimana timpangnya hukum bekerja: laporan rakyat dibiarkan, laporan perusahaan dikebut. Saking kebutnya proses penanganan laporan polisi dari perusahaan, penyidik harus sampai salah penulisan norma perundang-undangan yang digunakan dalam laporan perusahaan tersebut,” kata Prabowo.
Padahal, imbuh Prabowo, jika mengacu pada Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dilaporkan adalah peristiwa pidana atau bukan. Sementara itu penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana guna menemukan tersangkanya.
Dalam persitiwa yang terjadi di Anak Tuha bukanlah peristiwa tertangkap tangannya seseorang yang sedang melakukan tindak pidana, pertanyaannya adalah bagaiamana penyidik dapat menaikan status penanganan laporan polisi ke tahap penyidikan sementara tidak adanya proses penyelidikan guna melihat sebuah peristiwa yang dilaporkan adalah sebuah tindak pidana atau bukan.
“Lalu mengapa pihak kepolisian tidak langsung melakukan penangkapan pada ratusan warga Anak Tuha yang melakukan aktivitas perayaan hari kemerdekaan di lahan konflik tersebut jika hal ini dianggap sebagai peristiwa tindak pidana,” ujarnya.
YLBHI–LBH Bandar Lampung menegaskan bahwa konflik ini bukan persoalan hukum pidana, melainkan konflik struktural agraria. Warga tiga kampung berhak atas tanahnya yang telah dirampas; mereka berhak menanam, menggarap, dan hidup dari bumi yang diwariskan nenek moyangnya. Segala bentuk kriminalisasi baik melalui stigmatisasi “provokator”, pemanggilan, intimidasi, maupun penangkapan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan perampasan ruang hidup rakyat. Penyelesaian konflik agraria di Anak Tuha haruslah dilakukan dengan cara yang baik melalui sarana dialog yang mengedepankan aspek keberimbangan bagi para pihak, terutama masyarakat yang sudah bertahun-tahun menderita akibat konflik yang berkepanjangan.
“Jangan sampai negara kalah dengan kepentingan bisnis yang hanya menguntungkan segelintir orang, apalagi dengan mengorbankan rakyat kecil,” tandasnya.