Iblis Adalah Panglima
Syamsul Arifien Dialektika peran kemanusiaan di muka bumi yang tampak sederhana tetapi sejatinya kompleks sekali. Bayangkan, bahwa taat mengabdi itu harus total tanpa syarat. Tidak boleh milang-miling, gojak-gajek, memperhitungkan apakah titah pengab...

Syamsul Arifien
Dialektika peran kemanusiaan di muka bumi yang tampak sederhana tetapi sejatinya kompleks sekali. Bayangkan, bahwa taat mengabdi itu harus total tanpa syarat. Tidak boleh milang-miling, gojak-gajek, memperhitungkan apakah titah pengabdian itu akan menguntungkan atau merugikan secara materi, empiris, maupun religis.
Kesempurnaan pengabdian hanya akan menjelmakan kemuliaan, ketika tiga domain materi, empiris dan religis, itu telah (dapat) tuntas pada setiap diri manusia. Jika salah satu saja njomplang, maka doktrin pengabdian akan tetap menjadi proyek suka ria penyesatan Iblis. Masalahnya, ruang mana yang diwilayahi manusia yang bisa tanpa Iblis tampil memimpin sebagai panglima?
Seorang kawan bercerita, terpaksa harus rela berkali-kali berpindah posisi qiyam ketika hendak shalat di balakang Imam. Padahal untuk mencapai shalat subuh berjamaah di masjid itu, ia tempuh perjalanan berpuluh kilo meter dari rumah. Begitu iqamat usai berkumandang, hati si kawan menangis meraung-raung, seketika Iblis mengkudeta dan mengusirnya dari shaf terdepan sembahyang.
“Ini di belakang imam ini adalah tempatku, kamu tidak boleh shalat di sini. Ayo bergeser ke sana,” teriak Iblis seraya menyikut bahu si kawan.
Tak pelak, hardikkan si Iblis itu diikuti sabotase yang sama dari rombongan Iblis lainnya, hingga memaksa kawan saya tadi tersudut ke posisi paling ujung shaf sembahyang.
Setiap saat kita bisa menakar-nakar sendiri level nilai, ketepatan dan keselamatan atas setiap hal yang dialami atau dilakukan, baik yang personal maupun komunal. Bahwa yang namanya keimanan itu selalu dinamis, bisa naik bisa turun, itu pasti. Bisa naik tetapi sejatinya sekaligus turun, juga bisa ya. Sedemikian absurd urusan ketaatan atau pengabdian? Ya memang demikianlah rumus kehidupan yang memang penuh dengan jebakan buah Quldi Nabi Adam.
Iblis adalah panglima? Retorika manusia pasti tegas menidakkan. Tetapi apakah Iblis bukan panglima? Pastinya retorika manusia akan samar-samar untuk berani sama-sama tegas menidakkan. Seorang pegawai berdisiplin kerja dari jam 8 pagi hingga jam 4 petang, kesetiaan dan loyalitas demikian itu adalah kemuliaaan. Tetapi siapa yang menjamin apakah yang terjadi selama jam 8 sampai jam 4 sore itu benar-benar kemuliaan? Tidak ada yang bisa.
***
Karena Anda adalah khalifah fil ardhi, tetapi predikat dan amanat kekhalifahan itu berpotensi menggoda Anda, untuk misalnya, padahal baru belajar berjalan tetapi Anda sudah langsung berlari. Baru bisa berkata-kata tapi sudah tancap gas menjadi pengkhotbah, baru memiliki satu dua pengikut setia, keburu berjumawa merebut tahta. Lalu siapa sesungguhnya yang mempanglimai Anda? Kalau dikatakan bahwa Iblislah panglimanya, Anda pasti marah. Tetapi kalau bukan Iblis (minimal) yang turut menjadi kreatornya, Anda ragu juga untuk tidak mengiyakannya.
Oke, hari ini Anda adalah calon pemimpin yang dielu-elukan – kebanyakan sih mengelu-elukan diri sendiri – untuk menahkodai perubahan dan kesejahteraan sebuah entitas masyarakat. Dengan seabrek pola, formula, strategisi, maupun bermacam instrument yang Anda miliki dan dayagunakan untuk memanifestasikan fungsi sunatullah kekhalifahan itu.
Pertanyaannya adalah, apakah Anda yakin telah berposisi wajib ketika sebagai pemimpin masyarakat? Yang jawaban untuk hal ini harus paralel statuta wajibnya, jika ditanyakan bagaimana dengan kepemimpinan Anda atas diri Anda sendiri. Karena kepemimpinan itu sejatinya harus lahir bersamaan antara alamiah dan ilmiah, antara natural dan rekayasa.