Diskusi Terbuka BEM Unila: Uang Kuliah Tunggal Persulit Perguruan Tinggi

BANDARLAMPUNG, Teraslampung–BEM U KBM Unila kembali mengadakan diskusi terbuka yang diadakan di halaman belakang rektorat Universitas Lampung, Jumat sore (19/9). Acara yang digelar bersama Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) itu me...

Diskusi Terbuka BEM Unila: Uang Kuliah Tunggal Persulit Perguruan Tinggi

BANDARLAMPUNG, Teraslampung–BEM U KBM Unila kembali mengadakan diskusi terbuka yang diadakan di halaman belakang rektorat Universitas Lampung, Jumat sore (19/9). Acara yang digelar bersama Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) itu mengangkat topik  Uang Kuliah Tunggal (UKT).

 Diskusi ini dihadiri oleh 25 peserta diskusi yang terdiri dari pengurus BEM Unila dan anggota LMND.

Bambang Irawan selaku menteri sosial dan politik (Mensospol) BEM U KBM Unila menjelaskan bahwa diskusi ini diusung karena UKT dirasa sebagai persoalan atau masalah yang tak kunjung habis diselesaikan di tiap Perguruan Tinggi Negeri (PTN) seluruh Indonesia dan merupakan salah satu poin yang memberatkan mahasiswa dalam menunjang masa studi di PTN.

 Ketua Eksekutif LMND Bandar Lampung, Risma Borthon, berpendapat bahwa UKT sebagai permasalahan di setiap Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang merupakan tanggung jawab penuh pemerintah.

“Pemerintah memberlakukan UKT dengan alasan sebagai subsidi silang, namun pada realitanya tidak rasional dan masuk akal,”kata Risma.

UKT merupakan salah satu poin memberatkan mahasiswa yang berimbas negatif memaksa mahasiswa yang tidak mampu untuk bisa meningkatkan rating orang tua menjadi mampu, itu semua demi menikmati kuliah. Singkatnya,  memaksa si miskin menjadi kaya dan pada akhirnya mempersulit diri.

Presiden BEM Unila, Ahmad Khairuddin Syam, menyatakan bahwa Universitas Lampung merupakan salah satu universitas yang sistem UKT-nya bermasalah.

“Permasalahan yang muncul di Unila adalah penggolongan, transparansi, dan fasilitas,” kata Ahmad.

Diskusi ini menghasilkan kesimpulan bahwa permasalahan UKT yang terjadi yaitu di tataran teknis, yang pada kenyataannya tidak sesuai dalam penetuan besarnya UKT. Usai diskusi ini, Ahmad berharap permasalahan UKT agar dapat diberikan kejelasan atau tansparansi yang diinginkan yaitu bagaimana proses penggolongan yang dilakukan, seperti apa bukti nyatanya, dan data-data seluruh mahasiswa yang masuk ke Unila beserta besaran UKT-nya.

“Masalah  UKT ini mudah diatasi manakala pihak birokrat serius dan konsentrasi memperbaiki sistem penggolongan. Mahasiswa tentu berharap dengan adanya UKT ini pembangunan dan perbaikan fasilitas semakin baik,” kata Ahmad.

Menurut Ahmad, masalah fasilitas ini menjadi tantangan bagi pihak birokrat kampus sehingga mahasiswa percaya bahwa dengan biaya kuliah yang relatif mahal, fasilitas yang didapat juga memadai.