Perempuan dan Pohon-Pohon Cahaya: DAAL Persembahkan “Ayak-ayak” di International Folklore Festival 2025
Teraslampung.com, Semarang — Di antara gemuruh tapak kaki masa kini dan bisik sejarah yang bersemayam di dinding-dinding tua Kota Lama Semarang, kelompok seni DianArza Arts Laboratory (DAAL) dari Lampung menghadirkan sebuah pertunjukan yang tak sekad...

Teraslampung.com, Semarang — Di antara gemuruh tapak kaki masa kini dan bisik sejarah yang bersemayam di dinding-dinding tua Kota Lama Semarang, kelompok seni DianArza Arts Laboratory (DAAL) dari Lampung menghadirkan sebuah pertunjukan yang tak sekadar memanjakan indra, tetapi juga menggugah nurani: “Ayak-ayak”, kisah perempuan penderes damar yang hidup dalam peluh, sabar, dan cahaya.
Dipentaskan dalam gelaran lnternational Folklore Festival 2025 pada 12–14 September, karya ini membuka tabir kehidupan perempuan-perempuan tangguh yang setiap harinya meniti batang pohon damar, meneteskan getah demi getah untuk menyambung hidup keluarga dan merawat warisan leluhur.
Dian Anggraini, pendiri dan pengarah artistik DAAL, menyebut bahwa “Ayak-ayak” adalah serenade untuk bumi dan tubuh perempuan.
“Mereka bukan hanya pencari nafkah. Mereka penjaga hutan adat, penutur tradisi, dan pembawa cahaya yang nyaris padam di balik daun-daun damar,” katanya, Sabtu (13/9/2025).
Lima penampil membawakan pertunjukan ini dengan tubuh yang bercerita: gerak tari yang lembut dan tegas, musik etnik yang bersanding dengan bunyi alam dan olah suara kontemporer. Di dalamnya, terselip bisikan angin pesisir, langkah yang menapak tanah lembab, dan harapan yang menggantung di dahan-dahan damar.
Festival ini sendiri adalah pertemuan kebudayaan dari berbagai penjuru dunia. Dalam ruang yang dipenuhi bahasa lintas budaya, DAAL memilih bahasa sunyi: tubuh, tanah, dan keteguhan perempuan.
“Keikutsertaan kami di panggung internasional ini adalah bentuk penghormatan kepada mereka yang kerap tak terlihat. Seni, bagi kami, bukan hanya soal estetika, tapi juga suara—dan kadang, luka yang indah,” pungkas Dian.
Dengan “Ayak-ayak”, DAAL bukan hanya mewakili Lampung. Ia membawa cerita yang lebih besar—tentang alam yang rapuh, perempuan yang perkasa, dan seni yang bisa menjadi jembatan antara dunia yang tak selalu saling memahami.
(Christian Saputro)