Pemerintahan Tanpa Moral
Oleh Syarief Makhya Masalah pemborosan anggaran, pemalsuan dokumen, markup anggaran, hingga gaya hidup mewah para pejabat, baik di tingkat pusat maupun daerah, tampaknya telah dianggap sebagai hal yang lumrah dan wajar. Praktik-praktik tersebut berl...

Oleh Syarief Makhya
Masalah pemborosan anggaran, pemalsuan dokumen, markup anggaran, hingga gaya hidup mewah para pejabat, baik di tingkat pusat maupun daerah, tampaknya telah dianggap sebagai hal yang lumrah dan wajar. Praktik-praktik tersebut berlangsung tanpa beban moral, seolah-olah menjadi bagian dari budaya yang mengakar dalam lingkungan birokrasi pemerintahan dan kalangan politisi (anggota Dewa).
Fenomena ini menunjukkan bahwa nilai-nilai etika dan moral seakan – akan tidak lagi menjadi landasan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tumbuh sebuah logika pembenaran di kalangan birokrat dan politisi: bahwa segala tindakan dianggap sah selama tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan dapat dibuktikan secara administratif dan prosedural.
Sebagai contoh, pembelian barang dianggap legal sepanjang terdapat bukti kuitansi atau dokumen administratif yang sesuai prosedur—meskipun bukti tersebut fiktif. Selama ada pembenaran administratif, tindakan tersebut tetap dinilai sah secara hukum, kendati secara moral sesungguhnya cacat dan menyesatkan. Dalam kasus lain, mobil dinas dipakai istri dan keluarga untuk kepentingan acara keluarga, seperti dianggap biasa dan tidak ada rasa malu dan risih seolah-olah itu adalah hak pribadi, padahal jelas merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang
Gejala perilaku pejabat dan para politisi yang hanya bersandar pada hukum positif dan prosedur administrasi, serta sama sekali mengabaikan aspek moral atau etik, berakibat munculnya perilaku koruptif dan penyalahgunaan wewenang yang tidak tersentuh oleh kekuatan untuk mendisiplinkan ketaatan terhadap nilai-nilai moral dan etika publik. Hal ini pada akhirnya membentuk watak manusia serakah dengan memanfaatkan kekuasaan semata-mata demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Gagasan untuk membangun pemerintahan yang bebas dari KKN atau pemerintahan yang bersih akan sulit terwujud jika tradisi berpemerintahan masih berkarakter budaya formalisme. Dalam budaya ini, hukum dan prosedur administratif hanya dijadikan formalitas tanpa diiringi oleh komitmen etis dan integritas moral.
Ketika tidak ada pembatas kekuasaan dan kewenangan yang ketat dan pemberian sanksi yang tegas terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta tidak adanya lembaga pengawas yang independen dan otonom, maka kekuasaan cenderung disalahgunakan. Akibatnya, semangat reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang bersih hanya menjadi jargon kosong yang jauh dari implementasi nyata.
Berbasis Moral ?
Pemerintahan tanpa basis nilai dan moral bukanlah sesuatu yang utopis, melainkan sesuatu yang nyata dan bisa dipraktikkan. Pengalaman di beberapa negara seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan sejumlah negara maju lainnya menunjukkan bahwa membangun pemerintahan yang berkarakter, berintegritas kuat, dan berpihak pada kepentingan publik adalah hal yang mungkin dicapai. Pemerintahan mereka dibangun di atas fondasi nilai, moral, serta sistem pengawasan yang ketat dan transparan.
Hal tersebut membedakan mereka secara nyata dari negara-negara yang masih terjebak dalam budaya korupsi, nepotisme, dan lemahnya identitas serta watak bangsa yang menjunjung integritas dan tanggung jawab.
Praktik berpemerintahan bisa dibangun atas dasar aturan formal yang berlaku atau berdasarkan hukum positif. Secara substansi, hukum positif dipastikan memiliki tujuan yang positif, jika dijalankan dengan konsisten dan diterapkan sanksi yang tegas, ruang terjadinya praktik penyalahgunaan kekuasaan bisa diminimalisir. Tetapi, karena tata kelola pemerintahan yang diatur dalam hukum positif sekarang ini masih lemah, khususnya dari aspek kepemimpinan politik, institusi pengawas internal yang tidak mandiri, dan lembaga legislatif yang cenderung pragmatis dan tidak memiliki kekuatan daya paksa yang mengikat.
Dari aspek kepemimpinan politik, kepala daerah masih lemah karena sudah terperangkap oleh proses pemilihan kepala daerah yang berbiaya tinggi dan sarat kepentingan politik praktis, sehingga orientasi kepemimpinannya lebih cenderung pada balas budi politik dan kepentingan kelompok pendukung, bukan pada pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang bersih dan efektif. Dari aspek pengawasan internal yang tidak mandiri berakibat pada lemahnya fungsi kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan dan potensi konflik kepentingan yang tinggi. Demikian halnya lembaga legislatif yang cenderung pragmatis, maka pengawasan terhadap eksekutif menjadi tidak efektif dan rawan kompromi politik yang merugikan akuntabilitas pemerintahan.
Kelemahan mendasar tata kelola pemerintahan seperti itu, diperburuk oleh tidak kuatnya landasan etis dan moral dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akibatnya, praktik penyalahgunaan kewenangan, kolusi, nepotisme, dan pengabaian terhadap kepentingan publik menjadi hal yang lumrah dan sulit diberantas karena tidak adanya kesadaran batiniah untuk menjunjung nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab.
Oleh karena itu, di sinilah esensi penting pembangunan karakter dan integritas aparatur serta pemimpin publik, yang tidak hanya mengandalkan aturan hukum positif semata, tetapi juga menjadikan etika dan moral sebagai fondasi utama dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kekuasaan.***
*Dr. Syarief Makhya, M.Si, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung