Mendorong Inovasi Teknologi di Sektor Agribisnis

Oleh: Fahril Eka Saputra Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Selama bertahun-tahun, pertanian di Indonesia identik dengan kerja kasar dan alat-alat tradisional seperti cangkul, sabit, atau bajak. Gambaran seorang petani bercaping yang membajak...

Mendorong Inovasi Teknologi di Sektor Agribisnis

Oleh: Fahril Eka Saputra
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selama bertahun-tahun, pertanian di Indonesia identik dengan kerja kasar dan alat-alat tradisional seperti cangkul, sabit, atau bajak. Gambaran seorang petani bercaping yang membajak sawah dengan kerbau masih sering muncul dalam benak masyarakat. Padahal, gambaran ini semakin jauh dari kenyataan dunia pertanian masa kini, terutama di tengah perkembangan teknologi yang begitu pesat. Pertanian hari ini, dan apalagi masa depan, tidak lagi sekadar mengandalkan otot, tetapi juga otak, data, dan inovasi. Pandangan lama bahwa pertanian adalah pekerjaan yang rendah dan tidak menguntungkan perlu ditantang dan diubah. Sektor ini justru memiliki potensi besar sebagai motor pertumbuhan ekonomi jika dikelola secara modern dan berbasis teknologi.

Indonesia, sebagai negara agraris, memiliki sekitar 33 juta hektar lahan pertanian, dan lebih dari 28,6% penduduknya bekerja di sektor pertanian menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada triwulan I 2024. Namun ironisnya, kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional hanya sekitar 12,66% pada kuartal I 2025. Rendahnya efisiensi, teknologi yang belum merata, serta rendahnya daya saing menjadi salah satu penyebabnya. Padahal, dengan adopsi teknologi, produktivitas pertanian bisa meningkat tajam.

Menurut laporan McKinsey, adopsi teknologi pertanian modern dapat mendorong pertumbuhan ekonomi tambahan hingga $6,6 miliar per tahun. Ini artinya, teknologi bukan hanya pelengkap, melainkan kebutuhan mendesak untuk mengoptimalkan potensi agribisnis Indonesia.

Inovasi teknologi di sektor pertanian kini semakin beragam. Penggunaan Internet of Things (IoT) memungkinkan petani memantau kondisi tanah dan cuaca secara real-time. Di beberapa daerah, drone telah digunakan untuk memetakan lahan, menyemprot pestisida secara presisi, serta memantau kesehatan tanaman dari udara. Di Yogyakarta, misalnya, kelompok tani muda mulai menggunakan sistem irigasi otomatis yang dikendalikan melalui smartphone. Mereka tidak hanya menghemat air hingga 40%, tetapi juga meningkatkan efisiensi waktu kerja di lahan. Selain itu, artificial intelligence (AI) mulai diterapkan untuk menganalisis pola cuaca, menentukan masa tanam optimal, hingga memprediksi serangan hama. Semua ini membantu petani membuat keputusan berbasis data, bukan sekadar intuisi.

Contoh nyata lainnya adalah TaniHub dan eFishery, dua start-up agritech Indonesia yang berhasil menjadi percontohan inovasi digital di sektor pertanian. TaniHub memanfaatkan platform online untuk menghubungkan petani langsung dengan konsumen, hotel, dan restoran, tanpa perantara. Hasilnya, petani mendapatkan harga jual lebih baik dan konsumen mendapat produk segar dengan harga lebih terjangkau. Sementara itu, eFishery menciptakan alat pemberi pakan ikan otomatis yang terhubung ke internet dan dikendalikan lewat ponsel.

Alat ini dapat menyesuaikan jumlah pakan berdasarkan perilaku ikan, sehingga mengurangi pemborosan dan meningkatkan efisiensi pakan hingga 25%.
Kehadiran teknologi memang menjadi solusi dari banyak masalah struktural di dunia pertanian. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa adopsinya masih menghadapi banyak tantangan. Salah satu yang paling krusial adalah keterbatasan modal. Sebagian besar petani Indonesia tergolong petani kecil dengan luas lahan di bawah 0,5 hektar. Mereka kesulitan mengakses pembiayaan untuk membeli alat teknologi yang harganya tidak murah.

Di sisi lain, literasi digital petani masih rendah, terutama di daerah-daerah yang belum terjangkau infrastruktur internet yang memadai. Banyak petani belum terbiasa menggunakan aplikasi digital atau bahkan belum pernah menggunakan smartphone secara optimal. Hal ini menciptakan kesenjangan digital yang berpotensi memperlebar jurang antara petani modern dan petani tradisional.

Untuk mengatasi tantangan ini, peran pemerintah menjadi sangat penting. Salah satu langkah positif adalah program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang memberikan pembiayaan berbunga rendah kepada petani dan pelaku agribisnis kecil. Namun, program ini perlu disinergikan dengan edukasi teknologi dan pendampingan digital. Pemerintah juga bisa memperluas program pelatihan pertanian berbasis teknologi, bekerja sama dengan universitas, LSM, dan perusahaan swasta. Di sisi lain, investasi pada infrastruktur digital seperti jaringan internet di pedesaan harus dipercepat agar teknologi bisa benar-benar menyentuh akar rumput.

Selain dukungan dari pemerintah, kolaborasi antara sektor swasta dan akademisi juga sangat penting. Universitas pertanian dan politeknik bisa menjadi inkubator inovasi teknologi yang praktis dan murah bagi petani. Penelitian tidak boleh berhenti di laboratorium, melainkan harus menjangkau petani kecil secara langsung. Perusahaan agritech pun sebaiknya mengembangkan model bisnis inklusif yang memungkinkan petani kecil menjadi bagian dari rantai nilai modern. Misalnya, dengan skema sewa alat teknologi, sistem bagi hasil, atau pendampingan teknis berkelanjutan.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa modernisasi pertanian bukan hanya soal teknologi, melainkan soal transformasi mindset. Banyak generasi muda enggan terjun ke pertanian karena melihatnya sebagai sektor yang kotor, tidak bergengsi, dan tidak menguntungkan. Namun, ketika mereka diperkenalkan pada pertanian modern yang melibatkan perangkat digital, otomatisasi, dan data analytics, perspektif mereka mulai berubah. Di beberapa daerah, komunitas petani milenial mulai bermunculan dan menjadikan pertanian sebagai bisnis yang keren dan berdaya saing. Hal ini membuktikan bahwa revitalisasi pertanian bukan utopia, melainkan peluang nyata jika dijalankan secara sistematis.

Salah satu saran konkret untuk mempercepat transformasi agribisnis adalah membentuk pusat inovasi pertanian digital di setiap provinsi. Pusat ini bisa menjadi tempat pelatihan, demonstrasi teknologi, serta inkubator bagi start-up agritech lokal. Selain itu, sekolah menengah kejuruan (SMK) pertanian perlu dilengkapi dengan kurikulum digital dan praktikum berbasis teknologi agar lulusan siap menghadapi dunia pertanian masa depan. Pemerintah daerah juga bisa memberikan insentif bagi petani atau kelompok tani yang berhasil mengadopsi teknologi, sebagai bentuk apresiasi dan motivasi.

Solusi lainnya adalah mendorong penerapan pertanian berkelanjutan yang tidak hanya mengutamakan produktivitas, tetapi juga kelestarian lingkungan. Teknologi bisa membantu mencapai hal ini, seperti penggunaan sensor untuk mengatur irigasi secara efisien, pemanfaatan pupuk organik berbasis data, serta sistem rotasi tanam yang terencana. Di tengah isu perubahan iklim, pertanian yang ramah lingkungan tidak hanya menjadi keharusan moral, tetapi juga strategi jangka panjang untuk menjaga ketersediaan pangan.

Jika semua elemen—pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat—bergerak dalam ekosistem inovasi yang sama, maka sektor agribisnis Indonesia akan mampu menjadi pilar ekonomi baru yang tangguh. Pertanian tidak akan lagi dipandang sebagai sektor pinggiran, tetapi sebagai arena kompetisi global yang sarat teknologi, profesionalisme, dan potensi besar. Sudah saatnya bertani tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan kuno, melainkan sebagai profesi cerdas yang memadukan tradisi dengan inovasi.

Akhirnya, kita perlu mengingat bahwa masa depan pangan adalah masa depan bangsa. Tanpa pertanian yang kuat, Indonesia akan selalu bergantung pada impor dan rentan terhadap krisis pangan global. Dengan teknologi, pertanian kita bisa berdiri lebih kokoh, lebih efisien, dan lebih adil bagi semua. Jadi, mari kita tinggalkan paradigma lama. Pertanian bukan sekadar soal cangkul dan lumpur.

Pertanian adalah tentang data, strategi, dan masa depan. Dan masa depan itu harus dimulai hari ini.***