Kisah si Tukang Kecrek (1)
Oyos Saroso H.N. Saya lupa kapan persisnya kenal dan mulai akrab dengan mahasiswa tinggi langsing yang menjadi tokoh dalam cerita ini. Ah, ya, mungkin bermula dari sepenggal sore di halaman Gedung D IKIP Rawamangun Jakarta (sekarang Universitas Neger...

Oyos Saroso H.N.
Saya lupa kapan persisnya kenal dan mulai akrab dengan mahasiswa tinggi langsing yang menjadi tokoh dalam cerita ini. Ah, ya, mungkin bermula dari sepenggal sore di halaman Gedung D IKIP Rawamangun Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta), pada tahun 1990.
Sore itu Mas Ening Sumadiningrat, senior saya yang berperan sebagai sutradara, mengumpulkan para pemain Teater Pasar Sore untuk mementaskan lakon “Ken Arok”. Teater Pasar Sore adalah nama grup teater di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Jakarta ketika itu. Nama Pasar Sore mungkin diambil dari sebuah tempat (sebenarnya bukan benar-benar pasar) di dekat kampus IKIP Rawamangun, Jakarta Timur.
Saya dan mahasiswa tinggi langsing itu sama-sama kebagian peran kecil. Saya tak ingat betul dia kebagian peran apa. Saya cuma ingat peran saya, sebuah peran kecil sebagai seorang pendeta atau sesepuh istana. Yang sangat saya ingat adalah peran Mas Ning sebagai Ken Arok dan Siti Hawa yang memerankan tokoh Ken Dedes.
BACA: Kisah si Tukang Kecrek (4)
Saya ingat peran kedua kakak kelas saya itu karena senyum riang gembira tokoh Arok jika berdekatan dengan Ken Dedes sampai sekarang masih tergambar dengan jelas.
He…he…maklumlah…Siti Hawa saat itulah termasuk kembang jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Rawamangun. Menurut penilaianku pada masa itu, Hawa “ayune puoool”….
Tapi ini bukan cerita tentang Mas Ening dan Hawa. Juga bukan tentang pementasan Ken Arok. Ini sekadar penggalian penggalan kisah yang mengawali perkawanan saya dengan seorang mahasiswa tinggi langsing yang akhirnya menjadi “staf saya” sebagai tukang kecrek. Tukang kecrek ini pantas saya tulis karena pertemanan saya dengannya sedikit-banyak telah memengaruhi hidup saya. Tepatnya: kami saling memengaruhi, sampai akhirnya kami menemukan jalan hidup masing-masing.
Ketika berkumpul bersama kawan-kawan di halaman Gedung D, saya ketika itu mahasiswa semester akhir program D3 program studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Sementara mahasiswa tinggi langsing berkulit bersih itu kalau tidak salah kelas B program S1 program studi yang sama. Kalau tidak salah, baru sore itulah kami bertegur sapa dengan akrab.
BACA: Kisah si Tukang Kecrek (3)
Sebelumnya paling banter kami hanya saling senyum dan ‘berhai’ saja kalau berpapasan di kampus. Selain si tinggi langsing, yang masih saya ingat ikut dalam latihan pementasan sore itu antara lain Mas Edi Angus Sutarto, Fahrizal, Heryanto, Nur Zain, Iip Syariful Hanan, Marali, Mustopa, Abdul Karim, dan Fachroedin. Dua nama yang saya sebut terakhir adalah kawan sekelas saya.
Setelah pementasan di Teater Besar usai, saya dan si jangkung makin akrab. Saya penggila sastra dan suka menulis puisi. Dia setahu saya ketika itu cuma suka filsafat. Akhirnya perkawanan kami berlanjut. Bukan karena persamaan hobi, tetapi justru karena perbedaan. Saya akhirnya meracuni dia sastra, sementara dia meracuni saya filsafat.
Dia sendiri sepertinya keracunan filsafat dari Muslikhin dan Bang Nusa Putra. Bang Nusa adalah dosen kami yang akrab dengan para mahasiswanya. Selain alumni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, ia juga sarjana filsafat dari STF Driyarkara.
Ketika dia mulai meracuni saya dengan filsafat, saya sempat menyinggung soal Muslikhin, kawan sekelas si jangkung yang kini menjadi salah satu bos Indosiar.
”Wah, saya tak mau keracunan filsafat. Nanti ‘gila’ seperti Muslikhin. Muslikhin itu kan kalau bicara sepertinya berlawanan arus dengan logika umum. Dia sepertinya menggugat keberadaan Tuhan. Saya takut kafir!”
“O, tidak begitu,” ia mencoba menjelaskan,”Justru dia itulah yang benar. Kalau tertarik, nanti daftar ke STF mumpung sekarang sedang dibuka perkuliahan baru. Kamu ikut program ekstention seperti saya. Kuliahnya tiap Sabtu sore. Bayarnya cuma Rp 75 ribu per semester. Yang ngajar orang-orang hebat,” si jangkung berusaha membujuk.
Pada 1992, saya akhirnya tertarik belajar filsafat. Namun, itu bukan karena bujukannya. Saya tertarik filsafat karena melihat contoh di depan mata: Bang Nusa Putra. Ya, terus terang Bang Nusa Putra saat itu menjadi inspirasiku untuk belajar filsafat. Saya pikir, hebat betul Bang Nusa itu.
Sudah pintar, tulisannya bagus pula.Saya sering baca tulisan Bang Nusa nongol di harian Kompas. Itu pasti karena dia belajar filsafat. Filsafat itu induk segala ilmu. Itulah kira-kira pengetahuan dangkal yang saya terima saat belajar mata kuliah Filsafat Ilmu pada semester pertama masuk IKIP.
Singkat cerita, akhirnya saya pun mendaftar menjadi mahasiswa program ekstension STF Driyarkara. Mata kuliah pada semester itu temanya tentang “Filsafat Barat”. Kampus Driyarkara terletak di bilangan Cempaka Putih Indah, dekat Rawasari. Kampus STF Driyarkara lebih dikenal sebagai kampus “Jembatan Serong” karena di dekat kampus ada sebuah jembatan yang posisinya menyerong. Kuliah dimulai pas magrib hingga pukul 20.00 WIB.
Terpaksa kami berdua menyelinap dulu ke toilet untuk mengambil air wudu kemudian solat di sebuah ruangan.Karena tak ada sajadah dan tempat solat, kami naik ke atas meja dan solat di atas meja.
SELANJUTNYA BACA: Kisah si Tukang Kecrek (2)