Kisah Pagar Dewa Dulu dan Kini
Isbedy Stiawan ZS | Teraslampung.com Dari sejumlah cerita, Minak Pati Pejurit (Minak Kemala Bumi) dikenal sangat sakti. Karena saktinya, kisah tentangnya selayak cerita silat. Dalam tulisan Raja Tulangbawang Memeluk Agama Islam pada Bab II “Kerajaan...

Isbedy Stiawan ZS | Teraslampung.com
Dari sejumlah cerita, Minak Pati Pejurit (Minak Kemala Bumi) dikenal sangat sakti. Karena saktinya, kisah tentangnya selayak cerita silat.
Dalam tulisan Raja Tulangbawang Memeluk Agama Islam pada Bab II “Kerajaan Tulangbawang Sesudah Islam Masuk” dijelaskan, pada tahun 1554 M, Minak Kemala Bumi ke Banten untuk mempelajari agama Islam.
Cerita yang melekat hingga sekarang bahwa orang Pagardewa makan manusia (pagar dewou mengan jimou), sebenarnya salah tafsir.
BACA: Aku Jimou Pagar Dewa
Syahdan, saat Minak Pati Pejurit hendak mengambil Putri Balau dari Negeri Balau Kedaton untuk dijadikan istri, dia melabuhkan sampannya di Way Lunik. Sebelum masuk ke Negeri Balau, dia bermalam di daerah Panjang. Penjagaan menuju Negeri balau terlalu ketat,
sampai pohon-pohon nipah layaknya manusia hidup sebagai pagar betis.
Untuk menakut-nakuti para pengawal Negeri Balau, Minak Pati Pejurit memanggang rusa dan di depannya ada tubuh manusia yang sudah meninggal. Saat para pengawal melihat, Minak Pati Pejurit menyantap daging rusa yang dibakar. Para pengawal pun mengira orang Pagar Dewa ini tengah memakan manusia.
Pagardewa memang menyimpan segudang cerita atau legenda. Di kampung tua ini, kisah dan silisilah marga-marga atau bangsawang Kerajaan Tulangbawang bagaikan tersebar di
lontar-lontar.
Sementara itu, kompleks makam yang tersebar di Pagardewa merupakan peninggalan sejarah tentang eksistensi kelompok masyarakat yang ada di Kabupaten Tulangbawang
Barat.
Di sini suasana tradisional masih terasa. Misalnya rumah panggung yang masih asli banyak dijumpai, selain pada waktu-waktu tertentu kerap diadakan upacara tradisional.
Selain cerita bahwa di sini pernah ada Kerajaan Tulangbawang, dengan rajanya semasa pra-Islam Tuan Rio Mangku Bumi lalu diteruskan oleh putranya sebagai rajaterakhir dan semasa Islam yaitu Minak Kemala Bumi alias Minak Pati Pejurit, di sini juga berbagai situs, makam kiyai asal Banten, dan tempat-tempat sejarah yang tersebar di Kecamatan Pagardewa.
Infrastruktur
Pagardewa disahkan sebagai kecamatan dalam Sidang Paripurna DPRD Tulangbawang pada 8 Juli 2004, dengan dilantik camat pertama Syofian A. Ganie atas Surat Keputusan Bupati Tulangbawang Abdurrachman Sarbini kala itu.
Kini Pagardewa merupakan kecamatan di wilayah Kabupaten Tulangbawang Barat. Berdasarkan Perda Tulangbawang tersebut luas wilayah Kecamatan Pagardewa 13.328, membawahi lima kampung: Pagardewa, Sukamulya, Cahyowrandu, Bujungsari Marga, dan Kampung Bujung Dewa.
BACA: Pagar Dewa dan Cerita-Cerita Lain
Bersyukur saya pernah dua kali ke Pagardewa. Sebuah kecamatan sekaligus kampung tua yang unik, diapit oleh dua way (sungai) besar: Way Kanan dan Way Kiri. Kampung tua dengan rumah-rumah panggung berusia tua ini, juga diapit oleh dua kabupaten: Tulangbawang dan Way Kanan.
Perjalanan mencapai Pagardewa sangat melelahkan. Dengan kendaraan roda dua, dari Panaragan—ibukota kabupaten—ditempuh sekitar dua jam, harus melalui Kabupaten Way Kanan dan jalan masih tanah diselingi bebatuan. Jika musim hujan, jangan harap bisa menembus jalan menuju kampung tua ini.
Malam datang, kampung pun menjadi kelam. Penerang listrik belum dinikmati masyarakat di sini. Hanya genset dari rumah-rumah warga. Wajar kalau telepon seluler kerap mati, sebab sulitnya memenuhi baterei.
Bila malam, kampung tua Pagardewa bagai hamparan makam. Gelap gulita. Hanya lampu-lampu berminyak tanah di setiap rumah. Suasana pun seakan mencekam.
Camat Pagardewa Drs. Markurius R.A., MIP., mengakui hal ini. Dia berharap jembatan penyeberangan yang membelah Way Kiri dapat segera terealisasi. Dengan adanya jembatan penyeberangan itu, Pagardewa tak akan terisolir lagi.
Markurius juga mengharapkan pada pemerintah, PLN dapat segera masuk ke daerah ini. Sebab penerang listrik adalah vital bagi kehidupan masyarakat.
Diakuinya Pagardewa berpotensi bagi pembangunan, terutama dari hasil perkebunan, pertanian, dan perikanan. “Saya opitimistis hasil sumber alam dari sini bisa secepatnya dipasarkan, dan masyarakat bisa hidup nyaman. Selain itu PAD juga bisa terpenuhi dengan baik,” katanya.
Harapan Camat Pagardewa yang juga belum direalisasikan, ialah pembagunan Tugu Badik. Ditegaskan, badik adalah alat senjata tajam masyarakat asli Lampung, khususnya dari Pagardewa.
“Saya ingin menegakkan Tugu Badik di pintu masuk Pagardewa, cuma sampai sekarang belum terlaksana,” ujar Markurius.
Meski untuk mncapai kampung tua ini melelahkan. Tetapi, mendengar cerita tentang “kejayaan” Pagardewa masa silam, membuat saya bersemangat untuk kembali ke sini.
Kampung tua yang bersejarah, menyimpan banyak misteri, dan “taman” bagi pemakaman, memang menggiurkan banyak pejabat dan politisi di Lampung untuk bertandang dan bermalam. Terutama menjelang pilkada atau pemilihan legislatif, kampung tua ini kerap dikunjungi. Mereka berziarah ke sejumlah makam para “orang sakti” dan “orang suci” yang tersebar di kampung ini. Sepertinya mereka “meminta restu” pada leluhur yang telah tiada.
Pagardwa memang berpotensi dijadikan salah satu objek wisata religi dan histori di Kabupaten Tulangbawang Barat. Alangkah eloknya jika pemerintah memikirkan hal ini. Merapikan infrastukturnya. Merampungkan jembatan penyeberangan yang terbengkalai.Bayangkan, jika warga yang mengendarai sepeda motor atau jalan kaki hanya mengandalkan tongkang untuk menyeberang.Tidak efisien, efektif, dan akan selamanya kampung tua ini terisolir. Gelap pekat jika malam menyungsup.****