Jalan Rusak Parah, di Mana Kewajiban Pemerintah?
Oleh Syarief Makhya Masalah jalan rusak parah di Lampung sudah lebih dari 10 tahun dikeluhkan masyarakat luas melalui media sosial. Namun, dari tahun ke tahun ada beberapa jalan rusak parah di Lampung tak kunjung diperbaiki. Ruas jalan di Kotagajah-S...

Oleh Syarief Makhya
Masalah jalan rusak parah di Lampung sudah lebih dari 10 tahun dikeluhkan masyarakat luas melalui media sosial. Namun, dari tahun ke tahun ada beberapa jalan rusak parah di Lampung tak kunjung diperbaiki. Ruas jalan di Kotagajah-Seputih Raman-Rumbia dan jalan menuju tol Lambu Kibung, Kabupaten Lampung Tengah adalah jalan yang masuk kategori jalan Provinsi Lampung yang dalam kondisi rusak. Ada juga beberapa ruas jalan yang termasuk jalan provinsi yang masih dalam kondisi rusak dan belum diperbaiki. Di Kabupaten Tulangbawang Barat, saking kesal dengan kondisi jalan yang rusak parah dan sudah mirip kolam renang, masyarakakat pun kemudian menanam padi. Itu sebagai bentuk aksi protes masyarakat.
Respons pemerintah daerah untuk menjawab keluhan masyarakat tersebut selalu dipatahkan dengan alasan tidak ada anggaran. Atau dibenturkan bahwa itu bukan kewenangan pemerintah provinsi atau kabupaten tetapi kewenangan pemerintah pusat, tidak termasuk jalan yang dikategorikan untuk segera diperbaiki, atau belum masuk dalam perencanaan.
Anehnya, sejumlah alasan yang diberikan pemerintah daerah tersebut juga tidak ada upaya untuk melakukan terobosan dan mencari solusi alternatif dalam mengatasi kebutuhan public goods tersebut, sementara di sisi lain kondisi pembangunan infrastruktur di daerah kota jauh lebih baik dibandingkan dengan di daerah kabupaten, pemerintah juga begitu cepat merespon pembangunan jalan tol atau rencana membangun sport center yang tidak menjadi prioritas atau ada rencana membangun Lampung Raya.
Sementara dibalik kondisi jalan rusak parah, sudah menjadi tradisi pemerintah, kalau ada kunjungan presiden, pejabat-pejabat penting atau kegiatan-kegiatan yang bertaraf nasioanl atau internasional baru para pejabat responsif melakukan perbaikan jalan, atau di era pilkada jalan hanya diperbaiki menjelang Pilkada, karena akan menjadi citra buruk bagi daerah kalau jalan rusak tidak diperbaiki.
Dalam perspektif kebijakan publik, persoalan pengabaian memperbaiki jalan rusak parah adalah persoalan pilihan prioritas dan keberpihakan pembangunan. Asumsinya, jalan rusak bukan masalah keterbatasan anggaran, tapi kecenderungan pilihan prioritas karena alasan mengutamakan untuk kepentingan seremonial, orientasi untuk kepentingan peningkatan pemasukan pendapatan daerah, dan pengaruh perebutan kepentingan politik dalam membangun daerah pemilihan.
Prioritas dan Keberpihakan
Pembangunan jalan dikategorikan sebagai public goods yang wajib disediakan dan dibangunan oleh pemerintah karena tidak mungkin dibangun oleh masyarakat atau swasta kecuali jalan tol.
Public goods adalah barang atau jasa yang memiliki karakteristik nonrival dan non-excludable. Artinya, konsumsi public goods oleh satu individu tidak akan mengurangi ketersediaannya bagi individu lain, dan tidak mungkin untuk menghalangi individu untuk mengaksesnya. Konsekuensinya, pemerintah harus memperhatikan ketersediaan dana dan alokasi sumber daya untuk memastikan penyediaan penyediaan public goods tersebut. Tetapi, realitas nya penyedian pembangunan jalan menjadi pertarungan kepentingan politik dan berebut pengaruh untuk mendistribusikan pilihan prioritasnya antara kepentingan publik dalam arti menjadi kebutuhan rakyat yang real versus kepentingan politik dalam membangun fungsi pencitraan, dan fungsi investasi bagi pemilik modal.
Anggota Dewan pasti memperjuangkan dapilnya agar jalan mulus karena mereka telah menjanjikan kepada konstituennya saat kampanye, para aparat pemerintah daerah juga pasti akan memprioritaskan jalan protokol, jalan dipusat-pusat kota, jalan menuju kantor-kantor pemerintah untuk setiap tahun diperbaiki karena sangat terkait dengan fungsi pencitraan.
Juga pemerintah akan memprioritaskan membangun infrastruktur (jalan, listrik, dan yang lainnya) karena menjadi kebutuhan daya tarik bagi para investor. Jadi, tidak aneh dan nyata jika kepentingan dalam mengakumulasi modal, akses politik dan akses terhadap pengambil kebijakan menjadi menentukan memilih prioritas dalam mengambil keputusan pembangunan infrastruktur.
Selain problem distribusi alokasi pembangunan infrastrutur yang sarat dengan kepentingan politik juga harus diakui bahwa problem keterbatasan anggaran menjadi persoalan serius dalam pembangunan infrastruktur. Untuk membangun jalan yang berkualitas dan terpeliharan dengan baik butuh anggaran yang besar.
Ketidaktersediaan alokasi anggaran yang cukup untuk memperbaiki jalan rusak, tentu membuat pemerintah harus memutar otak, untuk menentukan mana yang prioritas untuk diperbaiki, mana yang masih bisa menunggu untuk diperbaiki.
Pasal 24 UU LLAJ ditegaskan bahwa, jika belum dapat dilakukan perbaikan jalan yang rusak, maka sebagai bentuk tanggung jawab, penyelenggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Selain itu, kapasitas kepala daerah menjadi menentukan untuk mencari dan melobi pemerintah pusat serta memperjuangkan bagaimana kondisi jalan yang kategori rusak berat itu bisa diatasi bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Konsep pengelolaan kewenangan bersama antar hubungan pemerintahan, manajemen pemerintahan kolaboratif dan orientasi memperjuangankan kepentingan rakyat harus diletakkan sebagai dasar untuk membangun kinerja pemerintahan.
Dalam perspektif demikian, maka akan membatasi persoalan pembangunan infrastruktur sebagai instrumen politik sebagaimana terjadi sekarang ini. Dengan model pemerintahan yang menempatkan kewenangan dikelola bersama dan manajemen pemerintahan kolaboratif, pilihan prioritas dan orientasi program akan berbasis pada data objektif, sehingga pertimbangan pengambilan pilihan prioritas itu selalu bersandar pada kepentingan rakyat sebagai bagian untuk memenuhi kebutuhannya; bukan pada kepentingan untuk mengkumulasi modal semata.
Bebebrapa kepala daerah sudah mempraktek kepemimpinan dan manajemen pemerintahan demikian sebagai bagian dari best practices, seperti Bupati Blora, Bupati Situbondo, atau Bupati Kabupaten Rohil. Semoga juga di Lampung bisa menampilkan best practices pembangunan infrastruktur.
*) Akademisi FISIP Unila dan Pengamat Kebijakan Publik