Gunung Anak Krakatau dan Keramat Syekh Dapur
TERASLAMPUNG.COM — Bagi penduduk di pesisir Lampung yang tinggal di sekitar Pulau Sebesi, Pulau Sebuku, Canti, dan Desa Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Kepulauan Krakatau merupakan bagian sangat penting bagi kehidupan mereka. Kawasan perai...

TERASLAMPUNG.COM — Bagi penduduk di pesisir Lampung yang tinggal di sekitar Pulau Sebesi, Pulau Sebuku, Canti, dan Desa Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Kepulauan Krakatau merupakan bagian sangat penting bagi kehidupan mereka.
Kawasan perairan di Kepulauan Krakatau bukan hanya tempat untuk mencari ikan, tetapi juga mereka anggap seperti “rumah” mereka sendiri. Itulah sebabnya, masyarakat Desa Pulau Sebesi dan sekitarnya akan sangat marah jika ada nelayan pendatang yang merusak laut di sekitar Krakatau dengan bom ikan.
Masyarakat adat dan para nelayan di pesisir Lampung itu memiliki kepercayaan kuat bahwa Gunung Anak Krakatau dan perairan di sekitarnya ada “penguasanya”. Gunung Anak Krakatau ‘lahir” setelah Gunung Krakatau tua yang menjadi induknya meletus hebat pada tahun 1883 dan menyebabkan tsunami hebat dengan korban jiwa hingga puluhan ribu orang.
Para nelayan menyebut Syekh Dapur atau Syekh Gofur, seorang ulama yang hidup pada tahun 1700-an, sebagai penguasa kawasan Kepulauan Krakatau. Syekh Dapur diyakini meninggal saat bertapa di Gunung Rajabasa, dekat Kota Kalianda, Lampung Selatan.
Masyarakat adat Rajabasa, Lampung Selatan, meyakini bahwa Syekh Dapur merupakan “penguasa” kawasan Krakatau. Mereka menyebut kepercayaan tentang kesaktian Syekh Dapur sebagai “Keramat Syekh Dapur”.
BACA: Krakatau, Laboratorim Alam di Tengah Laut
Meskipun Syekh dapur sudah lama meninggal dan makamnya lenyap bersamaan dengan terjadinya gelombang tsunami akibat letusan Gunung Krakatau pada 1883, sosok Syekh dapur tetap dihormati dengan cara tetap menjalankan adat penghormatan kepada “Keramat Syekh Dapur” pada saat mencari ikan di laut atau berlayar menuju ke Gunung Anak Krakatau.
“Kalau ada yang tidak percaya pada Syekh Dapur, nanti ketika mencari ikan di laut akan ditunjukkan kekuatan Syekh Dapur. Misalnya, akan terjadi gelombang tinggi, tidak mendapatkan ikan seekor pun, atau melihat pertunjukan pentas seni di tengah laut. Pentas seni di tengah laut itu sebenarnya tidak ada, tetapi orang yang tidak percaya pada kekuatan Syekh Daput itu seolah-olah menyaksikan ada pentas dan keramaian,” kata Miftahudin, 59, nelayan warga Desa Rajabasa, Lampung Selatan.
Menurut Miftahudin, untuk menghormati Syekh Dapur, para nelayan di sekitar Kepulauan Krakatau biasanya ketika berada di tengah laut menyempatkan berdoa dan menyampaikan salam dengan mengucapkan “Salam buat Keramat Keramat Syekh Dapur. Saya numpang lewat….”
Menurut Miftahudin, dengan mengucapkan salam kepada Keramat Syekh Dapur para nelayan akan diberi kekuatan berupa kemudahan mendapatkan ikan dan tiupan angina yang tidak terlalu kencang.
“Dari Dermaga Canti ke Krakatau biasa ditempuh dengan kapal nelayan ukuran besar sekitar 6 jam. Namun, kalau apes karena tidak hormat pada Syekh Dapur bisa mencapai sepuluh jam atau diterjang angina kencang,” kata dia.
“Ketika hendak mencari ikan kepiting juga harus mengucapkan ‘Saya mau mencari kerbau’. Kalau kita mengucapkan ‘Saya mau mencari kepiting’, justru seekor kepiting pun tidak akan didapat. Jadi, bagi kami, kalau di laut kerbau berarti kepiting,” kata Miftahudin.
Oyos Saroso HN