Demokrasi di Kandang Kambing*

Jauhari Zailani Ramainya polemik anggaran belanja DPRD kota dan provinsi dalam APBD 2005 lalu mengusik nurani dan mendorong jemari untuk menari diatas tuts. Tulisan ini, sebagai refleksi seorang warga terhadap politik lokal. Lebih sebagai ungkapan ra...

Demokrasi di Kandang Kambing*

Jauhari Zailani

Ramainya polemik anggaran belanja DPRD kota dan provinsi dalam APBD 2005 lalu mengusik nurani dan mendorong jemari untuk menari diatas tuts. Tulisan ini, sebagai refleksi seorang warga terhadap politik lokal. Lebih sebagai ungkapan rasa sayang kepada politisi-politisi yang kini menjadi anggota Dewan.

Politikus dalam pandangan saya adalah aset daerah. Sebagian sahabat, saudara atau teman saya. Sungguh ngeri dan nyeri ketika mengikuti berita korupsi anggota dewan yang terhormat. Tiap hari tak henti–hentinya diberitakan mantan anggota atau pimpinan DPRD digelandang ke pengadilan atau tahanan. Terlebih jika korbannya orang yang kita kenal dengan baik.

Tulisan ini lebih ditujukan sebagai perenungan kita semua, jika terkesan menghujat, sebetulnya sesuatu yang ingin saya hindari. Karena sungguh disayangkan, jika kita tak mengambil pelajaran dari kasus yang marak di seluruh Indonesia.

Menilik perilaku politisi, tak akan jauh dari perilaku makhluk lainya. Tuhan memuliakan manusia sekelas lebih tinggi dari malaikat. Sebaliknya,  manusia lebih rendah dari binatang, jika rusak moralnya. Manusia dan binatang memang beda tipis. Akal dan nafsu, yang tak dimilki hewan, dapat membuat manusia lebih buas dari hewan yang terbuas. Dapat mendorong manusia bergerak melebihi hewan tercepat sekalipun. Selebihnya sama; lahir, makan, kawin, beranak pinak dan mati.

Tak heran jika binatang sering menjadi rujukan bagi perilaku manusia. Orang Jawa nyondro manusia dari sifat dan perilaku binatang. Sang penulis Primbon, mendasarkan perilaku manusia pada bentuk fisik, sifat dan perilaku berbagai binatang.

Orang Barat juga mempergunakan lambang binatang  untuk membaca dan meramalkan perilaku manusia. Lambang-lambang zodiak dan astrologi adalah: ikan, domba, sapi, kepiting, singa, kalajengking, dan kambing. Orang Cina memiliki ilmu Shio untuk membaca dan memprediksi perilaku manusia; shio tikus, kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, babi, dan anjing.

Sifat dan perilaku manusia, sejalan dengan sifat binatang dalam zodiak Jawa, Cina, atau barat. Dari mana pun pandangan itu berasal, perilaku manusia dalam seluruh bidang kehidupan, lebih khusus dalam politik, dapat dilihat dari sosok dan sifat binatang.

Dalam dunia politik, sosok manusia digambarkan Machiavelli sebagai Srigala, demi kekuasaan manusia dapat saling memangsa, seperti serigala lapar. Atau berperilaku seperti tikus dan kecoak, binatang yang menggerogoti dan merusak harta benda negara, jika berkuasa. Amien Rais memakai istilah kancil pilek, bagi politisi yang “gagap bicara” ketika berhadapan dengan penguasa.

Zainuddin MZ ketika masih dai, menggambarkan perilaku serakah para konglomerat dan koruptor, rakus seperti monyet. Seperti apa kita melihat perilaku politisi kita di gedung perwakilan?Jawabanya bisa beragam, tergantung pesepsi dan posisi Anda.

Kalau Anda berpikir seperti seorang tenaga medis, akan menganggap jagad politik saat ini seperti rumah sakit hewan. Sejumlah binatang yang sakit akan anda temui seperti, anjing buduk, kucing kurap, kancil pilek, bebek letoy, elang patah sayap, macan ompong. Kata-kata ini akan terasa pas jika jika anda menggerutu; “wah anggota dewan kok kaya…..” silakan kalimat ini anda selesaikan sendiri.

Lain lagi jika anda berpola pikir pedagang, jagad politik nampak seperti pasar hewan. Di sana ada transaksi: dagang sapi, bursa bakal calon, mengelus jago. Jenis binatang ini akan sering mengemuka disaat atau menjelang perebutan kursi, misalnya dalam perebutan ketua komisi dan ketua fraksi. Terlebih kental lagi menjelang pemilihan walikota atau gubernur. Misalnya, “siapa jago kita….

Bisa juga anda menganggap dunia politik seperti kebon binatang. Jika Anda bermaksud membuat perumpamaan, perilaku politisi kita seperti binatang. Hiruk pikuk ketika berebut jatah rangsum, mengoceh pada jam-jam tertentu, mereka menikmati berbagai fasilitas dalam sangkar pingitan. Berbagai jenis manusia dan motifnya ada di sana.

Berbagai ungkapan kasar dapat menggambarkan seperti, gedung dewan kini dihuni oleh sekumpulan politisi yang rakus dan liar. Dan biasanya di arena kebon binatang terdapat atraksi binatang dan manusia dalam sirkus, badut atau lawak. Menari dan menyanyi dengan irama kecapi dan ketipuk kendang orang lain.

Partai politik, kini gagal mengemban amanah konstituennya. Partai politik hanya menjadi perjuangan kelompok dan keluarga, menjadi bentuk lain dari usaha memperbaiki nasib personal dan kelompoknya. Alih-alih menyatukan bangsa, partai politik dalam istilah Arbie Sanit justru memecah belah masyarakat dalam kotak-kotak kecil bak irisan tempe. Partai politik belum menjadi solusi konflik masyarakat, karena lebih sibuk dengan konfliknya. Anggota partai yang menjadi wakil rakyat tak memiliki independensi, karena takut di-recall oleh ketua partai.

Para wakil rakyat, alih-alih bicara kepentingan rakyat. Aspirasi menjadi hiasan buah bibir. Membahas APBD berkutat pada angka untuk eksekutif, mengamankan proyek esksekutif. Memperbesar pundi-pundi pribadi, memperbesar sumbangan pada kelompoknya dengan menyiasati aturan. Ada istilah rejeki macan. Sekali bergerak dalam pembahasan APBD, urusan perut setahun aman. Ibarat harimau lapar, mereka berjalan gontai mencari mangsa. Ketika kenyang, ia duduk manis, mengelus buncit perut, seraya mulutnya berdecap-decap, rahangnya bergoyang kekanan dan kekiri, nggayemi, menikmati lezatnya kekuasaan.

Sebagai penghuni kebun binatang, sang binatang apapun jenisnya, ia adalah binatang peliharaan. Jika gendut, diambil dagingnya, susunya, atau kulitnya. Ada peribahasa Bagai kambing dibawa ke air, peribahasa ini berarti manusia yang enggan sekali mengerjakan sesuatu pekerjaan. Badan Kehormatan yang harus dibentuk, mereka tolak. Setiap akhir tahun, di masa reses, mereka wajib melaporkan kinerjanya pada konstituen.

Boro-boro turba ke daerah pemilihan, mereka malah menghabiskan anggaran tahun dengan studi banding. Ada lagi peribahasa Bagai kambing harga dua kupang, artinya manusia yang berkelakuan kurang senonoh. Menjadi pejabat dan anggota Dewan hanya untuk memperkaya diri, sehingga melupakan kemuliaan yang telah disandangnya. Harus diakui para wakil yang kini duduk di dewan berlatar belakang tokoh pada bidangnya. Ada kiai dan tokoh masyarakat, akademisi yang fasih bicara soal amanah dan partisipasi, tetapi kini seperti kambing yang menunggu rumput. Dan sejumlah intelektual yang lain.

Ada lagi peribahasa: Seperti kambing dikupas hidup-hidup, artinya manusia ini menderita (sakit) takut yang amat sangat. Keintelektualan dan kemandirian mereka tidak nampak dalam sikap politiknya. Hal ini karena dirinya takut dikuliti oleh partai politik, alias di recall. Kalau hal itu terjadi, segala kemegahan fasilitas yang melekat di anggota Dewan, habis sudah. Hal itulah hantu nyata bagi setiap anggota Dewan kini. Takut di-recall. Takut dikupas hidup-hidup. Padahal, ada juga pepatah yang berbunyi: Seperti kambing putus tali, artinya lekas atau lambat pasti pergi juga. Mana ada sih yang abadi.

Mestinya yang abadi adalah semangat mengabdi pada Tuhan. Dan pengabdian itu dapat dilakukan di mana saja. Karena menjadi anggota Dewan, hanya sementara, esok atau lusa akan berakhir. Oleh masa bakti, di-recall ketua partai, atau di-recall oleh Tuhan. Itu lrbih terhormat jika kelak menjadi sekadar kambing hitam.

Celakanya lagi, kalau mereka gemar mengambing hitamkan orang lain, sistem atau aturan dan hukum. Tetapi itulah kenyataanya, kita tak dapat berharap banyak pada demokrasi yang berlangsung di kandang kambing. Mereka hanyalah representasi dari kambing yang ingin gemuk dan menyerahkan daging, susu dan kulitnya bagi para pedagang. Kambing Angora, yang berbulu panjang, putih dan halus mulus. Tetapi berlepotan kotoran di kandang kambing yang jorok.

Kambing Benggala dan kambing Etawa, yang memiliki tubuh besar, tak bernyali sebesar tubuhnya. Yang bertelinga panjang dan terkulai, sebagai lambang pendengar yang bijak dan menampung aspirasi, tetapi di kandang kambing yang didengar dan diperdengarkan hanyalah suara embek embek. Dan air susunya yang banyak tak diperah untuk kemakmuran rakyat. Dan begiltulah kambing-kambing jika dikandang, apapun namanya, kambing gunung, kambing gurun, kambing hutan, maupun kambing kacang.

Mereka setelah menjadi anggota Dewan dan menjadi pejabat seperti kambing kebiri, yang mandul. Ataupun seperti kambing perah, yang setia dan setor pada pemelihara. Entahlah siapa sang pemelihara domba dan kambing. Entah pula sang juragan kambing, yang siap menerima setoran dan menagih janji dan setoran. Yang jelas nampak oleh kita, berbeda sekali ketika mereka menjadi kambing umbaran, yang dipelihara secara bebas di padang penggembalaan alam dan tidak dikandangkan.

Entahlah apa pesan Tuhan. Kenapa Nabi Allah dimasa kecil dan mudanya selalu menjadi penggembala domba. Setidaknya, melalui tulisan ini kita dapat berkata pada Tuhan: ‘..kandang kambing masih pesing dan sengak”.

* Opini ini pernah dipublikasikan di media lain; dimuat ulang Teraslampung.com dengan pertimbangan isunya masih sangat aktual dengan kondisi saat ini (menjelang pencoblosan Pemilu 2014).  Dr. Jauhari Zailani adalah staf pengajar di Universitas Muhammadiyah Lampung (UML)