Bukan Sunan Kalijaga

Syamsul Arifien Apa yang salah dari sistem metabolisme syaraf otak, jika tindak kejahatan kemudian  dijadikan kesepakatan pembenaran nilai komunal yang  pelan-pelan menjelma sistem struktur sosial  baru yang dipermaklumkan? Kita bukan level Kanjeng...

Bukan Sunan Kalijaga

Syamsul Arifien

Apa yang salah dari sistem metabolisme syaraf otak, jika tindak kejahatan kemudian  dijadikan kesepakatan pembenaran nilai komunal yang  pelan-pelan menjelma sistem struktur sosial  baru yang dipermaklumkan?

Kita bukan level Kanjeng Sunan Kalijaga, sehingga tidak bisa mempersamakan diri dengan asbabul nuzul perampokan-perampokan beliu yang hasilnya ditaburkan kepada para ‘anak yatim’ sejarah. Jadi mbangun deso dari saweran uang hasil perampokan, itu bukan sebuah ijtihad atau jihad. Sehingga pelakunya bisa dielu-elukan bagai Robinhood atau dibela dan dilindungi bagai pahlawan masyarakat.

Para TKI saja, yang nyata-nyata memberi sumbang sih sangat besar bagi kemajuan kampung halaman, yang tidak kecil kontribusinya bagi peningkatan pundi-pundi kantung ekonomi negara, tidak pernah diakui atau masuk  dalam buku kamus besar penyumbang devisa.  Padahal, TKI adalah orang-orang yang telah menyelenggarakan dirinya dirampok secara sistematis  di dalam maupun di luar negeri.

Kita tidak bisa memelihara kucing garong dan membiarkannya  berkeliaran mencuri daging-daging segar dari pasar-pasar hewan, yang kemudian kita turut melahap dagingnya dan kita anggap sebagai menu halalalan thoyyiban. Kalaupun kemudian kita berasalan bahwa kita adalah ‘anak-anak yatim’ sejarah itu sendiri, seharusnya bukan itu justifikasinnya.

Seharusnya negara yang wajib malu menanggung satire ini. Negara harus berani mengakui kealpaannya, dan wajib pula membuka kembali lembar-lembar buku konstitusi, untuk apa sebenarnya ia ada, bagaimana semestinya ia bekerja memelihara, merawat, dan memastikan rakyat sejahtera di bawah pengayomannya.

Maka, ketika jasad-jasad yang meregang nyawa di ujung laras senjata aparat negara, yang kemudian disetor dan dikuburkan di kampung asal kelahirannya, itu bukan sekadar hitungan angka-angka statistik prestasi mengurangi kriminalitas, tetapi sesungguhnya itu sekaligus tamparan keras bagi negara. Sehingga tidak sepantasnya negara bersikap jumawa.

Ibarat rumput ilalang di ladang petani, ibarat kumis di wajah lelaki. Yang tidak akan mati meski berkali-kali dipangkas, yang akan tetap tumbuh meski rajin dipotong. Selagi akar masalah kesenjangan strata budaya, sosial, dan ekonomi tidak teratasi, dan sepanjang negara hanya berdiam diri, maka sebanyak apapun nanti tanah kubur digali dan bergantian jasad-jasad malang dikirim dan tanam di sini, kriminal dan kriminalitas akan terus bereproduksi.

Lantas dari atas kubur itu kita hanya bisa berkata nyinyir “Sayang kalian bukan Robinhood, kalian bukan pula Sunan Kalijaga…”