Transformasi Literasi Dasar: Menimbang Efektivitas “Storytelling” Digital dan Konvensional
Oleh: Mutiara Ayu* Pada suatu sore, seorang ibu membacakan dongeng “Kancil dan Buaya” dengan suara penuh ekspresi. Di ruang sebelah, seorang anak lain menatap layar tablet, menikmati animasi interaktif dari aplikasi cerita anak. Keduanya...

Oleh: Mutiara Ayu*
Pada suatu sore, seorang ibu membacakan dongeng “Kancil dan Buaya” dengan suara penuh ekspresi. Di ruang sebelah, seorang anak lain menatap layar tablet, menikmati animasi interaktif dari aplikasi cerita anak. Keduanya sedang “mendengarkan cerita”, tapi pengalamannya jelas berbeda. Inilah gambaran paling nyata dari perubahan cara anak-anak berinteraksi dengan literasi di era digital.
Storytelling atau mendongeng adalah bagian penting dari perkembangan literasi dan bahasa pada anak usia dini. Namun, kini praktik ini mengalami transformasi besar. Storytelling konvensional yang mengandalkan suara manusia, ekspresi wajah, dan interaksi langsung, mulai bersaing dengan storytelling digital yang menawarkan gambar bergerak, musik, hingga suara tokoh otomatis. Pertanyaannya, apakah storytelling digital bisa menggantikan keajaiban dongeng konvensional? Atau justru keduanya bisa bersinergi?
Dongeng bukan hanya alat hiburan, tapi jendela pertama anak memahami bahasa, emosi, dan nilai-nilai sosial. Menurut penelitian Isbell et al. (2004), storytelling secara langsung meningkatkan keterampilan bahasa reseptif dan ekspresif anak, memperkaya kosakata, serta memperkuat ikatan emosional antara anak dan pendongeng. Interaksi ini menjadi ruang aman bagi anak untuk bertanya, menanggapi, dan terlibat secara aktif yang belum sepenuhnya mampu dicapai oleh perangkat digital.
Di sisi lain, storytelling digital menghadirkan keunggulan dari sisi visual, interaktif, dan ketersediaan. Aplikasi seperti FarFaria, Epic, atau bahkan fitur AI seperti text-to-speech membuat cerita bisa diakses kapan saja dan dalam berbagai bahasa. Neumann (2018) menunjukkan bahwa anak usia 4–6 tahun yang terpapar buku digital interaktif memiliki minat baca lebih tinggi, terutama ketika teknologi digunakan secara terarah dan disertai bimbingan orang dewasa.
Namun, ada catatan penting: storytelling digital bersifat pasif jika anak tidak diajak berdiskusi, dan bisa menjadi distraksi ketika animasi berlebihan justru mengalihkan perhatian dari isi cerita. Selain itu, keterlibatan afektif seperti pelukan saat mendongeng atau tatapan mata tidak tergantikan oleh layar.
Kita hidup di masa transisi literasi dari oral ke digital. OECD (2022) melaporkan bahwa kemampuan literasi dasar anak usia dini tidak hanya tergantung pada banyaknya buku, tetapi juga pada kualitas interaksi dan pembimbingan saat anak terpapar cerita. Dalam konteks ini, storytelling konvensional memiliki keunggulan dalam membangun joint attention dan interaksi dialogis yaitu dua komponen penting dalam perkembangan bahasa.
Sementara itu, storytelling digital memiliki potensi luar biasa untuk menjangkau anak-anak dengan kebutuhan khusus, atau mereka yang tinggal di daerah tanpa akses guru atau buku fisik. Namun, tanpa kurasi dan pendampingan, teknologi ini bisa menjadi pedang bermata dua.
Membandingkan storytelling digital dan konvensional seharusnya bukan soal mana yang harus dipilih, tapi bagaimana menggabungkan keduanya secara bijak. Dalam praktik di kelas dan rumah, guru dan orang tua bisa menggunakan aplikasi cerita digital sebagai pemantik minat, lalu melanjutkan dengan diskusi atau kegiatan mendongeng langsung. Blended storytelling seperti ini memungkinkan anak menikmati dunia digital tanpa kehilangan aspek manusiawi dari literasi.
Yang perlu digarisbawahi adalah peran aktif orang dewasa. Tanpa kehadiran guru atau orang tua sebagai mediator, baik buku digital maupun buku cetak bisa kehilangan daya literasinya. Sénéchal & LeFevre (2014) menekankan pentingnya shared reading yakni membaca bersama sambil berdialog dalam membangun kemampuan bahasa anak. Dan itu bisa dilakukan lewat keduanya, asal tidak dilepas sepenuhnya ke layar. Kita tidak perlu bersikap nostalgik terhadap dongeng konvensional, maupun terlalu kagum pada teknologi digital. Yang perlu kita pastikan adalah cerita tetap menjadi jembatan antara anak dan dunianya bukan sekadar konten kosong yang lewat begitu saja.
Mendongeng adalah seni yang diwariskan manusia untuk menanamkan makna, bukan hanya untuk menghibur. Maka, di tengah gelombang digitalisasi, mari kita pastikan literasi anak tetap hangat, interaktif, dan manusiawi, di layar maupun di pangkuan orang tua.***
Mutiara Ayu, dosen pendidikan bahasa Inggris dan peneliti bahasa di Universitas Teknokrat Indonesia. Saat ini aktif meneliti isu literasi dan multibahasa di lingkungan pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar.