“Rhase”

Oleh: Sudjarwo Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan Minggu lalu saat menghadiri perhelatan kecil dari keluarga jauh, bertemu dengan seorang teman lama. Beliau tampak lupa berhadapan dengan penulis, dialog itu menggunakan bahasa ibu yang deskrepsin...

“Rhase”

Oleh: Sudjarwo
Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan

Minggu lalu saat menghadiri perhelatan kecil dari keluarga jauh, bertemu dengan seorang teman lama. Beliau tampak lupa berhadapan dengan penulis, dialog itu menggunakan bahasa ibu yang deskrepsinya ….”(sambil menjabat tangan, beliau berkata)……..kele kudai rhasenye aku pernah kenal nga kamu ini….anye sape nian…”.

Ia mengernyitkan kening tampak lama sekali mengingat. Saat penulis menyebut nama, ia langsung memeluk tampak matanya berkaca-kaca sambil berkata,”Nnduk ae..maaf nian aku lupe nga kamu….la tue ni susah ka ngingat…”

Mmemang selisih usia dengan beliau cukup jauh.

Hanya dari perjumpaan itu kata “rhasenye” sudah lama sekali tidak terdengar di telinga ini. Bahasa daerah dari Sumatera Selatan ini jika kita terjemahkan bebas menjadi “rasanya, sepertinya” walaupun fonem ini tidak begitu cukup mewakilinya.

Jika kita analisis lebih jauh kata rhase dapat diterjemahkan dengan rasa, namun lebih kepada suasana batin: tetapi berbeda dengan “roso” dalam bahasa Jawa.

Untuk saat ini “rasa” justru bertriwikrama menjadi “seperti, atau juga serasa”; dan ada sebagian orang saat sekarang terjangkit waham ini, sehingga ada yang “serasa presiden, serasa anggota legeslatif, serasa bupati, serasa gubernur” dan masih banyak lagi serasa yang lainnya.

Anehnya, perilaku serasa ini mendekati tahun pemilihan, semakin menjadi jadi; bahkan tidak jarang tampilannya menjadi seperti sesuatu yang aneh.

Pemilihan masih jauh, serasa sudah jadi; bahkan yang sedang jadi-pun terkena “serasa” ini yaitu serasa masih akan jadi terus, serasa tidak akan berakhir jabatannya, serasa masih lama hidup di dunia. Konteks kekinian, serasa ini menjadi semacam sikap optimisme berlebihan; bahkan tidak ada diantara mereka yang siap serasa nanti kalau tidak jadi.

Sikap serasa ini menampilkan perilaku seolah-olah, sehingga gaya hidup, bahkan sampai-sampai cara berjalanpun berubah menjadi “jalan serasa”. Oleh karena itu, tidak aneh jika ada sebagian diantara kita menyebutnya menjadi “berubah rasa” untuk tidak mengatakan gila.

Demi sopan santun ketimuran banyak diantara kita menyikapi teman yang berperilaku serasa ini dengan senyum-senyum di kulum, atau tertawa dalam hati.

Tidak ada larangan untuk kita bersikap serasa, karena tidak ada aturan tertulis yang dilanggar, bahkan aturan tak tertulispun tidak ada yang dilangkahi. Namun, ukuran norma bersifat sangat subyektif; oleh sebab itu disebut normative; menjadikan sesuatu itu patut atau tidak patut untuk dilakukan. Bisa dibayangkan jika ada manusia yang rhasenya melampaui batas, sehingga kitapun yang menjumpainya agak sedikit malu dibuat.

Orang Melayu bilang “janganlah pula kita katak serhase lembu”; akibatnya semua yang kita perbuat menjadi tak sedap dipandang.

Tampaknya sekarang persoalan “urat malu” menjadi semacam penyakit serius di negeri ini; banyak hal yang seharusnya tidak muncul kepermukaan, karena merupakan wilayah pribadi, akan tetapi hari ini justru menjadi kebanggaan jika masalah-masalah pribadi diumbar kehadapan publik.

Agama sudah memberikan tuntutan bahwa Tuhan selalu menutup aib mahluknya; namun justru mahluknya yang mengubar kemana mana, dan seolah merupakan kebanggaan jika bisa memviralkan persoalan pribadi ke ranah publik.

Lebih konyol lagi jika kekonyolan diri dipertontonkan untuk dinikmati oleh public, dan itu seolah merupakan kebanggaan yang tiada tara. Tontonan seperti ini justru dipertontonkan oleh mereka yang berstatus terhormat, atau merasa terhormat; sehingga aib itu seolah berkah baginya.

Bisa dibayangkan jika ada orang yang dengan ringan tanpa beban menceritakan semua aib diri dimuka kamera untuk disebarluaskan kepada khalayak; apalagi yang bersangkutan memiliki status formal sebagai pemimpin.

Ternyata “rhase” sebagai local wisdom adalah kekayaan budaya yang seharusnya tidak tergerus oleh derasnya kebudayaan manca negara. Karena dengan rhase kita akan menjadi bijak dalam melihat segala persoalan kehidupan.

Sesuatu yang datang dari luar tidak selamanya tidak baik, namun juga tidak semua yang kita miliki selalu baik. Keberimbangan dan kebijaksanaan dalam memposisikan diri terhadap sesuatu secara jernih, sangat diperlukan.