Keluar untuk Lari
Oleh: Sudjarwo Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan Senja yang temaram di akhir pekan, penulis melintas pinggiran kota yang jalannya tidak terlalu lebar dalam rangka mencari inspirasi untuk menulis. Saat itu di tepi jalan dipenuhi sekumpulan oran...

Oleh: Sudjarwo
Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan
Senja yang temaram di akhir pekan, penulis melintas pinggiran kota yang jalannya tidak terlalu lebar dalam rangka mencari inspirasi untuk menulis. Saat itu di tepi jalan dipenuhi sekumpulan orang menonton kuda lumping di lapangan pojok desa yang tidak begitu luas. Tetabuhan khas yang ritmik itu menghadirkan suasana tersendiri bagi para penggemar yang menonton tingkah polah penari yang sedang berjoget. Karena ingin mendapatkan hiburan segar dan gratis, penulis turun dari kendaraan lalu berbaur dengan mereka. Wawancara bebas tak terstruktur mengenai berbagai hal pun dilakukan.
Di tengah asyiknya menonton, para penonton dikejutkan dengan larinya seorang pemain mengejar penonton. Tentu saja suasana menjadi hiruk pikuk. Banyak penonton lari lintang pukang karena si penari menjadi seolah liar tanpa kendali. Untung kejadian itu tidak lama, karena datang sang pawang menenangkan penari. Dari celotehan penggemar kesenian kuda lumping justru pada adegan itu kesenian ini menjadi menarik, walaupun bagi pribadi penulis mempertanyakan dalam hati kemenarikannya itu dari segi apa.
Tentang kudi lumping, ada hal yang menarik untuk dikaji yaitu keluarnya penari untuk berlari. Ternyata dalam kehidupan sehari-haripun kita sering menjumpai orang yang berlari saat dia diperlukan sebagaimana penari tadi. Tentu dengan berbagai alasan. Lari atau melarikan diri seolah merupakan bentuk ekspresi menghindar dari sesuatu. Bisa jadi dari tanggungjawab, atau bisa jadi takut akan sesuatu.
Lari dari tanggungjawab ini tidak hanya bisa dilakukan pemimpin atau yang dipimpin, bangsawan atau jelata. Bahkan orang yang memiliki derajat akademik tertinggi pun, yang diharapkan integritasnya utuh dan paripurna, bisa mengambil keputusan untuk lari dari tanggungjawab. Bahkan di dunia ini ada kejadian kepala negara lari dari negaranya hanya ingin menghindari tanggungjawab akan perbuatannya yang tidak disukai rakyat.
Kondisi negeri seperti sekarang yang sedang tidak baik-baik saja ini, makin menunjukkan bagaimana ada orang yang hanya karena mengejar jabatan, kedudukan atau apapun namanya, sanggup meninggalkan organisasi yang sudah membesarkannya. Bahkan ada suami yang harus berpisah bantal dengan sang istri. Semula bantalnya sama-sama berwarna tertentu, karena mengejar mimpi, suami ganti bantal berwarna lain dengan harapan bantal tadi bisa mengejar mimpinya menjadi lebih indah lagi. Bisa juga seorang ayah lupa akan tanggungjawabnya terhadap anak, membangun rumah bagus di tempat yang nyaman, tatkala anaknya meminta uang untuk membayar uang sekolah, dengan ringan mengatakan tidak punya uang.
Orang bijak berkata impian dikejar, yang nyata diabaikan. Anak dikorbankan masa depannya karena mata hati tertutup syahwat duniawi, ingin membangun kerajaan hingga bertampilan mewah, walaupun sebenarnya batinnya keropos tidak bermakna.
Keluar untuk lari dari tanggungjawab adalah perbuatan tidak jantan sebagai manusia. Namun tidak perlu disalahkan karena kata “jantan” bisa bermakna lain dari sudut pandang yang berbeda. Jantan untuk ayam jago adalah hebat dalam ranah makna, namun manakala tidak jantan untuk manusia, derajatnya bisa saja jauh lebih rendah dari ayam jago. Karena kesalahan ucap pada manusia tidak mudah untuk dimaafkan dibandingkan dengan salah kokok pada ayam jantan.
Keluar untuk lari jika dipadankan di dunia militer ini adalah diserse, aslinya pada dunia pepeerangan perilaku seperti ini hukumannya tembak ditempat; kalau dalam keadaan damai akan dikenai pemecatan tidak dengan hormat. Begitu tidak terhormatnya perilaku menghianati kelompok pada sistem sosial yang ketat seperti militer. Namun, sebenarnya ada hukuman yang paling menyakitkan di tengah masyarakat adalah hukuman moral dari anggota masyarakat kebanyakan; tajamnya hukuman ini melebihi tajamnya sembilu, bagi mereka yang masih memiliki perasaan normal sebagai manusia. dalam ilmu sosiologi tereliminasi secara moral itu bagai kiamat kecil bagi pribadi normal.
Apa pun kesulitan atau masalah di dunia ini manakala kita posisikan sebagai tantangan. Maka, yang akan kita dapatkan adalah peluang untuk menyelesaikan. Namun jika kita keluar dan lari dari kesulitan atau masalah, maka yang akan kita peroleh adalah masalah baru. Masalah baru itu bisa jadi lebih dahsyat dari masalah sebelumnya bahkan bisa memperbesar masalah yang ada. Orang bijak berpesan Tuhan memberikan masalah pada kita itu adalah bentuk lain dari rasa sayang-Nya kepada hambanya.