Di Balik Racunnya, Beberapa Tumbuhan Ini Punya Manfaat yang Jarang Diketahui Orang
Oleh: Azura Fajrilla Zahra Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dalam kehidupan sehari-hari, istilah “racun” sering dikaitkan dengan sesuatu yang mematikan, berbahaya, dan sebisa mungkin harus dijauhi. Tak heran jika tanaman beracun pun langsung...

Oleh: Azura Fajrilla Zahra
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah “racun” sering dikaitkan dengan sesuatu yang mematikan, berbahaya, dan sebisa mungkin harus dijauhi. Tak heran jika tanaman beracun pun langsung dicap sebagai musuh yang mengancam kesehatan, sehingga sering kali dianggap tidak memiliki nilai manfaat. Padahal, sejarah panjang dunia medis justru mencatat bahwa berbagai obat-obatan modern maupun tradisional berasal dari tumbuhan-tumbuhan yang dikenal beracun.
Dalam ilmu farmakologi, dikenal satu prinsip mendasar yang diungkapkan oleh Paracelsus, seorang tokoh penting dalam sejarah toksikologi, yaitu bahwa “semua zat adalah racun, hanya dosislah yang membedakan apakah itu menjadi obat atau berbahaya.” Dalam konteks ini, sebuah senyawa yang tergolong beracun dalam dosis tinggi ternyata bisa menjadi obat yang menyelamatkan jika dikonsumsi dalam kadar tertentu.
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa dari 252 senyawa obat dasar yang terdaftar, lebih dari 11 persen berasal dari tanaman, dan sebagian di antaranya diketahui memiliki unsur racun. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa sifat racun pada tanaman tidak serta-merta membuatnya tidak berguna. Justru, jika digunakan dengan benar, tanaman-tanaman ini bisa menjadi sumber pengobatan yang sangat menjanjikan.
Di tengah meningkatnya ketertarikan masyarakat pada pengobatan herbal dan bahan alami, ada kebutuhan yang mendesak untuk memahami lebih dalam tentang tanaman-tanaman yang mengandung racun. Banyak masyarakat yang hanya berfokus pada bahaya tanpa melihat peluang manfaat yang bisa diperoleh. Minimnya edukasi dan kurangnya literasi membuat sebagian besar orang enggan bahkan takut mempelajari lebih lanjut tentang tanaman-tanaman ini. Padahal, jika diolah dengan pendekatan ilmiah, pengetahuan tentang mereka bisa menjadi solusi baru bagi pengobatan alternatif yang lebih alami, lebih ekonomis, dan kadang lebih efektif. Dengan memahami dosis, cara pengolahan, serta efek samping yang mungkin timbul, kita bisa menjadikan tanaman yang awalnya ditakuti sebagai sekutu kesehatan.
Ambil contoh pohon tuba atau Derris elliptica, yang sudah lama dikenal sebagai tanaman racun ikan karena kandungan rotenone di dalamnya. Rotenone bekerja dengan cara menghambat sistem pernapasan pada sel, membuat ikan lumpuh dan mudah ditangkap. Namun, tak banyak yang tahu bahwa tanaman ini memiliki senyawa aktif lain seperti flavonoid, quercetin, isoflavon, ceramide, dan saponin yang ternyata punya potensi besar di bidang kesehatan.
Berdasarkan penelitian dari Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin, ekstrak daun pohon tuba mampu menurunkan kadar gula darah pada hewan percobaan serta memperbaiki sensitivitas tubuh terhadap insulin. Ini membuka kemungkinan penggunaannya sebagai terapi tambahan bagi penderita diabetes tipe 2. Kandungan antioksidannya juga bisa membantu meningkatkan daya tahan tubuh karena mampu menetralkan radikal bebas penyebab kerusakan sel. Lebih jauh lagi, beberapa studi awal mengindikasikan bahwa senyawa pada akar pohon tuba dapat membantu merelaksasi pembuluh darah dan berpotensi menurunkan tekanan darah tinggi. Selain itu, sifat anti-parasit dari senyawa aktifnya juga bisa digunakan untuk mengatasi kudis, sejenis infeksi kulit akibat tungau. Namun, karena kandungan rotenone tetap berisiko pada manusia, pemanfaatannya harus dilakukan di bawah pengawasan tenaga medis.
Contoh berikutnya adalah kecubung atau Datura metel, tanaman yang di satu sisi dikenal sebagai tanaman mistis dan beracun, tapi di sisi lain sudah lama digunakan dalam pengobatan tradisional di berbagai daerah. Alkaloid seperti atropin, skopolamin, dan hiosiamin yang terkandung di dalamnya bersifat sangat kuat dalam memengaruhi sistem saraf pusat. Tidak mengherankan jika penggunaan tanpa takaran yang jelas bisa menyebabkan halusinasi, gangguan kesadaran, jantung berdebar, bahkan koma. Namun, dari sisi farmakologis, senyawa-senyawa ini sangat bermanfaat untuk pengobatan nyeri, kejang otot, asma, hingga mabuk perjalanan. Di Madura, daun kecubung direbus dan dijadikan obat luar untuk meredakan rematik dan bisul.
Sementara itu, masyarakat Aceh telah lama menggunakannya untuk menyembuhkan kutu air dan hernia. Bahkan dalam tradisi pengobatan Ayurveda di India, kecubung digunakan untuk mengatasi gangguan pernapasan dan nyeri otot. Meski potensinya besar, perlu dipahami bahwa pengolahan yang salah bisa sangat fatal.
Menurut Badan Narkotika Nasional, kecubung pernah disalahgunakan oleh kelompok remaja sebagai zat halusinogen karena efek psikoaktifnya. Oleh karena itu, penggunaannya hanya boleh dilakukan oleh ahli yang memahami dosis dan efek farmakologinya dengan baik.
Lalu, ada belladonna atau Atropa belladonna, tanaman cantik yang berasal dari Eropa dan dikenal memiliki racun mematikan. Nama “belladonna” berasal dari bahasa Italia yang berarti “wanita cantik”, karena pada zaman dahulu wanita Italia menggunakan ekstrak tanaman ini untuk melebarkan pupil mata demi mempercantik diri. Dalam dunia medis modern, senyawa atropin yang diambil dari belladonna digunakan dalam banyak terapi seperti penanganan gangguan pencernaan, pengobatan Parkinson, dan perawatan kondisi tertentu seperti bradikardia (detak jantung terlalu lambat).
Atropin juga digunakan sebagai penawar dalam kasus keracunan pestisida organofosfat dan gas saraf. Meski begitu, penggunaan langsung tanaman ini tetap sangat berbahaya.
Konsumsi yang tidak sengaja saja bisa menyebabkan gejala keracunan seperti pupil membesar, penglihatan kabur, kebingungan, dan kehilangan kesadaran. Maka dari itu, tanaman ini hanya boleh dimanfaatkan dalam bentuk olahan farmasi yang telah dikontrol ketat oleh regulator obat.
Di Indonesia sendiri, tanaman jarak pagar atau jatropha Curcas menjadi salah satu tanaman yang kerap ditemukan di pekarangan rumah. Biji dari tanaman ini diketahui sangat beracun karena mengandung curcin, namun juga mengandung minyak yang dapat diolah menjadi biodiesel, pelumas mesin, hingga bahan dasar sabun dan kosmetik. Bahkan, beberapa inisiatif pemerintah pernah menjadikan jarak pagar sebagai tanaman energi alternatif.
Dalam dunia pengobatan tradisional, getah dan daun tanaman ini digunakan untuk mengobati eksim, kudis, sakit gigi, dan demam pada bayi.
Beberapa penelitian juga menemukan bahwa ekstrak daunnya memiliki sifat antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, dua bakteri penyebab infeksi umum. Namun, karena potensi toksisitasnya, bagian-bagian tanaman ini tidak boleh dikonsumsi langsung tanpa pengolahan yang benar. Di banyak daerah, kasus keracunan akibat salah konsumsi biji jarak masih terjadi karena kurangnya pemahaman tentang tanaman ini.
Melihat semua contoh tersebut, sudah seharusnya kita tidak hanya menilai tanaman dari reputasinya sebagai “beracun.” Justru, di balik racunnya, terdapat kekayaan hayati yang belum sepenuhnya dieksplorasi. Banyak tanaman yang dianggap berbahaya bisa menjadi kunci dari berbagai solusi kesehatan, ekonomi, dan lingkungan jika dikelola dengan ilmu dan tanggung jawab. Untuk itu, diperlukan edukasi yang berkelanjutan, baik melalui pendidikan formal, media massa, maupun sosialisasi dari lembaga kesehatan. Penelitian lebih lanjut juga sangat penting agar tanaman-tanaman ini bisa dimanfaatkan secara optimal dengan risiko minimal.
Pemerintah dapat berperan besar dengan membuat regulasi dan memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang pengolahan tanaman herbal yang aman. Sementara itu, masyarakat juga harus membiasakan diri untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehatan atau herbalis terlatih sebelum mencoba pengobatan dari tumbuhan yang mengandung racun. Kita juga bisa mendorong kolaborasi antara peneliti, pemerintah, dan pelaku industri untuk mengembangkan sediaan obat dari tanaman beracun yang aman, teruji, dan terjangkau.
Pada akhirnya, alam telah menyediakan banyak solusi bahkan dalam bentuk yang semula kita anggap berbahaya.
Tumbuhan yang mengandung racun bukan untuk dijauhi secara mutlak, melainkan untuk dipahami, diteliti, dan dimanfaatkan dengan benar. Dengan pemahaman yang tepat, kita bisa menjadikan racun sebagai obat, bahaya sebagai peluang, dan ketakutan sebagai pengetahuan.
Dunia modern menuntut kita tidak hanya hidup berdampingan dengan alam, tetapi juga mengerti cara memanfaatkannya dengan bijak. Maka dari itu, sudah waktunya kita berhenti menilai sesuatu hanya dari kulit luarnya saja. Tumbuhan beracun menyimpan potensi yang bisa menyelamatkan nyawa, meningkatkan kualitas hidup, dan bahkan memberi kontribusi besar terhadap kemajuan dunia kesehatan. Asal digunakan dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab, racun pun bisa menjadi harapan.***