‘Buto Gedruk’

Oleh: Sudjarwo Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya Pagi menjelang siang penulis melakukan perjalanan kesatu lokasi ekstransmigrasi Merapi di salah satu kabupaten di Lampung. Saat di perjalanan, penulis menemukan sekelompok kecil penari menggunakan ko...

‘Buto Gedruk’

Oleh: Sudjarwo
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Pagi menjelang siang penulis melakukan perjalanan kesatu lokasi ekstransmigrasi Merapi di salah satu kabupaten di Lampung. Saat di perjalanan, penulis menemukan sekelompok kecil penari menggunakan kostum raksasa di pinggir jalan tempat akan berlangsungnya pesta perkawinan. Kesenian ini bernama Buto Gedruk, yang memiliki sejarah tidak terlepas dari kesenian wilayah lereng Gunung Merapi Jawa Tengah. Kesenian ini termasuk kesenian yang tersisa dari para pendahulu mereka saat datang ke Lampung mengikuti program pemindahan penduduk karena bencana Gunung Merapi pada waktu itu.

Dari berbagai sumber ditemukan informasi Buto Gedruk merupakan tarian yang memiliki ciri khas memakai topeng yang menyeramkan yang menggambarkan raksasa atau buto. Ada banyak sumber yang memberikan informasi berbeda tentang asal tarian Buto Gedruk ini, ada yang menyebutkan bahwa tarian Buto Gedruk berasal dari daerah lereng Gunung Merapi yang kemudian dikembangkan di Sleman, Yogyakarta dan adapula yang menyebutkan bahwa tarian ini berasal dari daerah Magelang, Jawa Tengah.

Gedrug secara etimologis, memiliki arti hentakankaki. Gedrug berarti satu kaki berdiri pada jendul telapak, tepat di belakang tumit kaki yang lain (Clara Brakel-Papenhuyzen, 1991: 124). Tari Rampak Gedruk Buto dibawakan selama 45 menit dan memiliki ciri khas gerakan tersendiri. Tak terlalu rumit, hentakan kaki dan ayunan tangan yang kompak, menggambarkan kemarahan raksasa yang berkuasa. Pada kaki para penari terpasang puluhan lonceng yang gemerincing berirama senada dengan irama kendang dan gamelan yang mengiringi. Intinya bahwa Tari Buto Gedruk atau biasa disebut Tari Rampak Buto ini merupakan tarian yang menggambarkan Kemurkaan Raksasa karena ulah manusia yang semakin hari semakin merusak bumi dan seisinya.

Dari sini penelusuran akan kerusakan bumi dan isinya kita mulai, saat mewawancarai petani singkong di daerah ini sangat terasa bagaimana keangkaramurkaan dan atau keserakahan manusia terhadap isi bumi ini. Posisi petani selalu ada pada “tidak untung” istilah mereka, dan tidak mau mengatakan rugi; karena kalau rugi ternyata sampai hari ini mereka tetap hidup dengan keluarganya. Ketidak untungan mereka dapat kita simak dari saat mereka butuh pupuk, barangnya tidak ada. Saat mereka tidak butuh justru ditawari sampai datang kerumah. Mereka sebenarnya bukan tidak butuh pupuk akan tetapi tidak ada yang untuk membayar pupuk. Pada posisi ini mereka mensiasati dengan membuat sendiri pupuk kandang yang berasal dari kotoran ternak mereka.

Belum lagi berbicara harga jual; posisi mereka selalu tidak diuntungkan, karena jika harga jual tinggi itu sebenarnya harus mereka bayar terlebih dahulu dengan harga pupuk yang mahal serta harga obat-obatan pembasmi hama yang juga mahal. Dengan menggunakan istilah bahasa kuliahan margin yang tinggi dari harga jual juga disertai dengan harga modal yang juga tinggi.

Pertanyaan berikut: bagaimana mereka cara bertahan hidup? Pertanyaan ini dijawab dengan satu kata bahwa mereka tidak mengenal ongkos produksi non material. Sebagai contoh dalam menggarap kebon singkong satu hektar mereka hanya menghitung rupiah pengeluaran pembelian bibit, pembelian pupuk, pembelian obat-obatan racun hama. Sementara biaya makan mereka selama tanam sampai panen, tenaga yang dikeluarkan, lama waktu curah; semua tidak mereka kalkulasi.

Konsep mereka untuk biaya makan diambil dari beras simpanan kemaren dulu, sayuran diambil dari sekitar rumah, tenaga yang dikeluarkan dianggap keharusan sebagai petani harus kerja. Sikap hidup seperti ini oleh J.C.Scott seorang ahli sosiologi ekonomi pertanian disebut hidub dengan membagi resiko atau dikenal dengan ekonomi subsistensi; atau juga sering dikatakan konsep “subsistensi” atau kalau bisa saya terjemahkan secara kasar sebagai “hanya sekedar cukup.” Alias, tidak berkelebihan. Walaupun teori ini dibantah habis-habisan oleh kaum rasionalis, namun untuk beberapa thesisnya tampaknya masih relevan.

Pertanyaan lanjut: mengapa mereka tidak berontak, seperti misalnya melakukan demo kepada penguasa, atau bentuk bentuk lain? Sebenarnya petani, terutama petani penggarap, mereka melakukan perlawanan bahkan pembangkangan; hanya mereka lakukan secara diam, apatis, bahkan skeptis. Meminjam istilah Made Supriatna petani penggarap melakukan “pembangkangan sunyi”; artinya dengan kata lain mereka melakukan perlawanan dengan cara tidak melawan.

Bisa jadi Tari Buto Gedruk sebenarnya bentuk perlawanan tersamar dari para petani akan nasibnya; karena dengan menggedruk-gedrukkan kaki ke bumi paling tidak dapat menyalurkan rasa kesal akan nasibnya kepada Ibu Pertiwi. Oleh karena itu, dalam konsep budaya Jawa dalam menjaga keseimbangan hidup harus mengenal prinsip kakang kawah, adi ari-ari; dulur papat kelimo pancer, bopo angkoso, ibu pertiwi. Fenomena ini menarik untuk direnungkan oleh siapapun penghuni negeri ini, apalagi kalau sedang diberi amanah untuk memimpin, maka sebaiknya untuk merenung, apa sudah kita perbuat untuk negeri ini.***