Perempuan Pelindung Bumi

Asarpin* Bagi sebagian besar masyarakat adat, sungai adalah muasal kehidupan, jantung yang terus memompakan darah, mengalirkannya ke seluruh tubuh agar kehidupan terus berlangsung.  Mengotori sungai bukan saja perbuatan jahat dan tidak ber...

Perempuan Pelindung Bumi
Asarpin*
Bagi sebagian besar masyarakat adat, sungai adalah muasal
kehidupan, jantung yang terus memompakan darah, mengalirkannya ke seluruh tubuh
agar kehidupan terus berlangsung.  Mengotori
sungai bukan saja perbuatan jahat dan tidak bertanggungjawab, tapi juga sebuah kebakhilan
dan kebatilan. Sungai yang tercemar bagaikan paru-paru yang bocor, yang pada
gilirannya hanya tinggal menunggu kematian.
Ketika kaum  lelaki
seakan tak merasakan akibat langsung dari perbuatan mencemari sungai, kaum
perempuan di mana-mana menjerit karena merekalah yang paling merasakan
kesulitan jika air bersih makin langka dan ketika sumur tercemar merkuri dan
zat kimia berbahaya. Para perempuan adat Chipko di India telah membuktikan itu.
Menurut masyarakat adat ini, alam adalah Prakriti,
pencipta dan sumber kekayaan dimana mereka menggantungkan hidup dari situ.
Vandhana Shiva—ilmuwan dan feminis yang disegani di
India—telah banyak menyodorkan penemuan seputar ketergantungan perempuan dengan
persoalan ekologi dan dia pula yang paling gigih memprakarsai gerakan
ecofeminis. Ada kesetaraan antara perempuan dan alam. Maka kini dimana-mana
orang bicara pendekatan yang berpusat pada perempuan dalam menangani masalah
lingkungan hidup.
Ibu saya di kampung sangat terkenal sebagai penanam Pohon
Cempaka karena entah sudah berapa ribu pohon ditanamnya sejak masih gadis
hingga usia enam puluhan, sementara bapak saya lebih banyak menebang untuk di
jual.
Kurang dari tiga tahun lalu, Karlina Supelli mengawali pidato
kebudayaannya dengan mengutip tradisi masyarakat adat Dayak Ngaju dan Dayak
Benuaq berikut jerit perempuan dari Mahakam yang kehilangan ribuan hektare
hutan sebagai penyangga kehidupan. Padahal bagi masyarakat Dayak, hutan bukan
hanya sumber mata pencaharian, tetapi juga sebagai “acuan rasa merasa akan
kosmos, sejarah muasal, tata hukum dan tunjuk ajar perilaku”.
Martin Aleida pernah menulis novel yang mengangkat sosok
perempuan bernama Molek sebagai penjaga Sungai Asahan. Telah beratus-ratusan
tahun sungai itu mengalir jernih, menjadi sumber mata air bagi jutaan manusia
yang menggantungkan hidupnya dari pertanian dan perkebunan. Tapi sejak
perusahaan raksasa berdiri di hulu sungai itu, air mulai  tercemar oleh limbah kimia berbahaya. Molek
meratap getir tatkala menyaksikan air pekat hitam mengeluarkan bau busuk menggenang
di atas sungai legendaris itu. “Pabrik keparat itu mambunu itti ru ngolu ni na mangolu”, teriaknya. Pabrik laknat  itu telah membunuh inti hidup dan kehidupan. 
Jerit para perempuan memang tak sekeras teriakan para
lelaki, tapi efeknya seringkali lebih dahsyat. 
Namun yang agaknya sering luput dipertanyakan adalah: bagaimana dengan
para perempuan kelas menengah perkotaan yang yang doyan menghabiskan uang
belanja jutaan rupiah di mall-mall, yang hidup dalam budaya konsumerisme?
Tidakkah mereka juga menjadi penyumbang terbesar terhadap sampah rumah tangga
dan kerusakan lingkungan?
Bukan karena saya lelaki maka mengajukan pertanyaan ini di
sini, tapi realitas yang keras menuntut kita untuk sama-sama melakukan
emansipasi. 


*Esais