Ini Alasan Mary Jane Harus Dibebaskan dari Hukuman Mati di Indonesia
Mary Jane dibawa dengan Barracuda dari Lapas Wirogunan Yogyakarta menuju Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat dini hari (24/4). Foto: dok Warta Jogja BANDARLAMPUNG, Teraslampung.com — Menjelang eksekusi mati bagi terpidana...
| Mary Jane dibawa dengan Barracuda dari Lapas Wirogunan Yogyakarta menuju Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat dini hari (24/4). Foto: dok Warta Jogja |
BANDARLAMPUNG, Teraslampung.com — Menjelang eksekusi mati bagi terpidana mati Mary Jane, para aktivis HAM di Indonesia gencar menyampaikan dukungan agar Mary Jane dibebaskan dari hukuman mati. Menurut para aktivis, Mary Jane adalah korban. Ia bukanlah gembong narkoba, sebagaimana selama ini dituduhkan kepadanya dan dibuktikan di persidangan.
Siapa sebenarnya Mary Jane dan kenapa ia harus dibebaskan dari hukuman mati? Berikut paparan Rahung Nasution, seperti yang diuarkannya lewat chripstorynya:
Mary Jane, terpidana mati berkewarganegaraan Filipina, sudah dipindah dari Lapas Wirogunan ke Lapas Nusakambangan. Delapan hari lagi dia akan dieksekusi oleh Regu Tembak.
Mary Jane Veloso seorang single mother berumur 30 tahun, berasal dari keluarga miskin. Ayahnya bekerja sebagai buruh tani musiman di Hacienda Luisita dengan upah sangat kecil. Untuk menopang hidup, Ia mengumpulkan sampah plastik. Ia anak bungsu dari 5 bersaudara yg hanya mampu bersekolah sampai SMP kelas 1 lalu menikah muda dan punya dua anak.
Dengan harapan untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya, Ia pergi meninggalkan Manila bekerja sbg buruh migran di Dubai tahun 2009. Sebelum masa kontrak dua tahun habis, Ia memutuskan pulang ke Manila karena majikannya mencoba untuk memperkosanya.
Pada 19 April 2010, dia dibujuk oleh seorang teman bernama Maria Christina Serio (warga Talavera, Nueva Ecija). Maria bilang , seorang temannya orang Malaysia butuh tenaga pembantu rumah tangga. Dia membayar pada Christina uang sebesar 20 ribu peso, 1 sepeda motor dan sebuah telepon seluler. Untuk “mengganti” ongkos ongkos yang diperlukan Christina mengurus keberangkatan Jane. Ia direkrut secara ilegal.
Di hari keberangkatan, dia hanya membawa satu celana , sepasang baju dan berangkat ke Malaysia. Sesampainya di sana, Jane mendapat kabar bahwa kesempatan kerja sudah ditutup dan dia dijanjikan pekerjaan lain. Dia tinggal tiga hari di Malaysia dan diajak jalan berkeliling dan belanja pakaian.
Insiden di Airport Adi Sucipto, Jogjakarta
Pada 6 2010 April, Christina menyuruh Mary Jane untuk segera bergegas berkemas-kemas karena ada pekerjaan di Indonesia. Awalnya ia menolak krn tidak punya uang dan tiket. Christina memberi uang dan koper kosong, memasukan pakaian pakaian ke situ. Ketika mendarat di Jogyakarta dan melewati X-Ray, petugas mencurigai koper Jane.
Setelah dibongkar dan segala isi dikeluarkan, tidak terdapat apa apa yang aneh. Namun ketika dimasukkan lagi ke dalam mesin X-Ray ada tampak barang mencurigakan. Maka kemudian koper tersebut dihancurkan dan di bagian dalam yang tersembunyi terdapat 2.6 kg heroin senilai US$500,000.
Penahanan dan Pengadilan
Jane tampak menghibur sang ibu Celia yang datang berkunjung ke tahanan tahun 2013. Kunjungan dimungkinkan atas bantuan teman-teman di tahanan dan kebaikan petugas penjara. Pada tanggal 9 Mei 2013, di hari ulang tahun ayahnya, Mary Jane menelepon ibunya yang tidak mengerti apa apa. Pada 11 Mei 2013 Jane mengirim pesan lewat hp: “Nanay, tatay, mahal na mahal ko kayong lahat.”(Mother, Father I love you all very much). Juga dua nama anaknya dan kakak kakaknya disebut. Tapi dia tidak cerita apa yang terjadi.
Keluarga berusaha menghubungi dan Jane bilang pada Darling (kakak perempuan Mary ): “Ate nakulong ako” (“aku dipenjara”). Pada tanggal 13 Mei pihak keluarga menghubungi media. Pihak media berupa stasiun TV menolak membantu dengan alasan kasus terlalu rumit. Media yang lain bahkan melarang mereka masuk gedung.
Mereka melanjutkan langkah ke Kementerian Luar Negeri.
Pihak Kementerian berjanji akan membantu. Tidak ada jawaban substansial dari pemerintah kecuali bahwa mereka bilang akan berusaha menolong. Tidak ada kepastian hukum apakah Jane bersalah atau tidak. Juga tidak ada bantuan hukum, pernyataan dan investigasi kasus ini dari pihak pemerintah.
Menurut Agus Salim, pengacara Mary Jane di Indonesia, dia tidak mampu untuk membela dirinya sendiri. Ketika diinterogasi oleh Polisi bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia yang saat itu tidak dipahaminya.
Dalam pengadilan ada bantuan penerjemahan yg disediakan pengadilan mahasiswa akademi bahasa asing yang tidak memiliki lisensi dari asosiasi penerjemah bahasa Indonesia.
Pengadilan singkat bagi MaryJane berakhir bulan Oktober 2010. Hanya 6 bulan semenjak dirinya ditangkap Hakim tidak mengabulkan tuntutan jaksa untuk hukuman seumur hidup. Hakim menjatuhkan hukuman mati.
Pada Juni 2013, keluarga Jane berkunjung. Mereka adalah Celia dan Cesar Veloso serta dua anak Jane yaitu Mark Daniel dan Mark Darren. Kunjungan ini dpt terlaksana dgn adanya bantuan uang utk biaya perjalanan yg dikumpulkan oleh kawan-kawan Jane di penjara termasuk juga sumbangan dari penjaga penjara.
Total biaya yg diperlukan cukup besar untuk keperluan keperluan mendesak, seperti biaya bikin paspor, beli tiket dan biaya hidup selama sebulan di Indonesia.
Perkembangan Kasus Setelah Vonis Mati
Bulan Agustus 2011 Presiden Noynoy Aquino meminta pengampunan bagi Mary Jane yg ditujukan pada pemerintahan Presiden SBY. Pada masa itu Indonesia punya moratorium untuk menunda hukuman mati dan pengampunan belum ditindaklanjuti sampai masa akhir kepemimpinan SBY. Pada bulan Oktober 2014 Indonesia punya presiden baru.
Tidak lama setelah Joko Widodo dilantik dia mengumumkan perang terhadap kejahatan narkotika. Pada bulan Januari 2015 nama MaryJane termasuk dalam daftar yang akan dihukum mati. Pengacara yg disewa pemerintah Filipina segera mengajukan proses judicial review . Judicial Review diajukan tanggal 19 Januari 2015.
Pada 9 Februari 2015, pada kunjungan Presiden Joko Widodo ke Filipina, Presiden Aquino kembali mengangkat kasus Mary Jane dalam pertemuan resmi. Pada 19-21 Februari 2015, pemerintah Filipina memfasilitasi Keluarga Veloso sebuah kunjungan keluarga bagi Ibu Mary Jane, saudara perempuan, dan dua orang anak Mary Jane ke penjara.
Sekretaris Deplu Pemerintah Filipina Alberto Rosario menengok Mary Jane pada tanggal 24 Maret 2015. Pada tanggal 3 sampai 4 Maret 2015 dilangsungkan PK di Pengadilan Negeri Sleman untuk mencari jika ada bukti-bukti baru dalam kasus Mary Jane.
Pihak pengacara Mary berpendapat bahwa kasus ini berhak ditinjau ulang karena selama proses peradilan sebelumnya. MaryJane tidak didampingi oleh penerjemah tersumpah dan profesional sehingga terdapat cacat hukum. Bahkan Kepala sekolah Akademi Bahasa Asing di Jogyakarta pun mengakui pada saat itu penerjemah Mary Jane tercatat sebagai siswa sekolah mereka.
Untuk memperkuat argumen ini, pengacara menggunakan kasus yang menimpa Nonthanam M. Saichon, warganegara Thailand dalam kasus narkotika yang juga secara teknis memiliki cacat krn masalah tidak ada penerjemah yang layak. Tetapi, pada tanggal 25 Maret 2015, Mahkamah Agung Republik Indonesia (Supreme Court) menolak peninjauan kembali kasus Mary Jane.
Meskipun demikian, pemerintah Filipina masih berusaha keras untuk menyelamatkan nyawa Mary Jane. Pemerintah Filipina sedang berusaha mengajukan petisi kedua untuk Judicial Review yang memang secara hukum masih dapat dilakukan Mary Jane. Namun masih belum jelas apakah usaha di atas diperbolehkan oleh sistem peradilan Indonesia.
Pengacara Mary Jane masih mempelajari pilihan-pilihan jalur hukum terakhir yang dapat dilakukan. Utusan PBB Christhof Heyns yang diberi mandat menangani masalah internasional extra-judicial dan hukuman mati sembarangan juga sudah mengajukan keberatan kepada Presiden Joko Widodo untuk mencabut hukuman mati terhadap Mary Jane dan 14 terhukum lain atas dasar laporan dari UN Commisioner for Human Rights krn mrk mengalami proses peradilan yang cacat.
Dalam laporan yang sama mereka dianggap tidak menerima cukup bantuan hukum dan tidak terpenuhi haknya utk memperoleh penerjemah yang layak. Mereka juga tidak didampingi oleh perwakilan hukum dalam tiap tahapan peradilan yang dialaminya.
Sementara itu, organisasi Migrante International dan Migrante Sectoral Party bersama dengan keluarga Mary Jane. Jaringan Flor@20–yang dibentuk untuk mengenang Flor Contemplacion untuk mengubah nurani Indonesia sehingga Mary Jane Veloso tidak harus mati.
Jika Mary Jane diekskusi tanpa bisa membela diri dan tak tahu salahnya apa, maka Jokowi tak lebih dari seorang pembunuh!
MaryJane dan TKI Indonesia di Saudi berhak mendapat proses pengadilan yang tidak cacat. MaryJane korban dan bukan gembong narkoba!











