Tuhan dan 1.000 Pertanyaan Koplak
Oyos Saroso H.N. Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar saya sedang keluar. Larik di atas bukan pertanyaan untuk Pak Tuhan, tukang kayu berusia 42 tahun asal Dusun Krajan, Desa Kluncing, Kecamatan Licin, Banyuwangi, yang diminta Majelis Ulama Indonesi...

Oyos Saroso H.N.
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar
saya sedang keluar.
Larik di atas bukan pertanyaan untuk Pak Tuhan, tukang kayu berusia 42 tahun asal Dusun Krajan, Desa Kluncing, Kecamatan Licin, Banyuwangi, yang diminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur untuk mengganti nama atau menambahkan kata lain di depan kata “Tuhan”.
Itu adalah larik puisi berjudul “Tuan” karya Sapard Djoko Damono.
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono adalah guru besar FIB UI. Ia penyair besar. Orang Barat memanggilnya Tuan Sapardi. Para penyair muda Indonesia acap menempatkannya sebagai Tuhan sastra Indonesia. Tidak ada protes. Tak ada kegaduhan.
Ada Tuhan lain di dunia sastra Indonesia. Namanya Tuhan Hudan. Saya menyebutnya Hudan Hidayat. Terkadang saya meledeknya sebagai “wong gemblung” atau Tuhan gemblung. Tuhan Hudan hanya terkekeh-kekeh kalau saya ledek. Bahkan jika saya semprot pun Tuhan Hudan hanya tersenyum.
Kalau Profesor Sapardi atau Hudan Hidayat diperkarakan orang gara-gara menyeret kata Tuhan dalam karya dan julukannya, saya yakin mereka akan tenang-tenang saja. Bahkan, jika Hudan yang diperkarakan lantaran menyebut dirinya Tuhan, saya yakin dia akan terkekeh-kekeh juga sambil terus menekuni membaca karya sastra dan mengulasnya. Tapi tidak begitu halnya dengan Tuhan asal Banyuwangi.
Kini Tuhan dari Jatim bingung. Mungkin juga cemas, Sebab, selain disarankan menambah kata lain di depan atau di belakang namanya, ia juga terancam tidak punya KTP lagi. Itu terjadi jika Kantor Catatan Sipil Kabupaten Banyuwangi menarik KTP Tuhan dan baru akan memberi KTP baru jika Tuhan sudah ganti nama. Itulah yang disarankan Ketua MUI Jawa Timur KH Abdusshomad Bukhori,
Saran Ketua MUI Jatim sepintas masuk akal. Katanya, nama Tuhan kurang baik secara etika agama.
“Ditambah saja atau lebih baik diganti. Sebagai hamba, nama itu melanggar etika,” kata Abdusshomad, seperti ditulis Kompas, Senin (24/8/2015).
Alasan Pak Kyai ini tentu mengundang tanya: bukanlah Tuhan punya 99 nama lain? Apakah mereka yang punya nama Rahman, Rahim. malik, Salam, Muhaimin, Ghofur, dan 93 nama lain Tuhan juga harus ganti nama?
Pak Kyai mungkin lupa, sepanjang apa pun nama manusia, umumnya ia akan dikenal atau dipanggil dengan satu nama kata saja. Seorang perempuan cantik bernama Rara Sita Dewi Mak Plekenut Moblong-Moblong, misalnya, di sekolah atau di rumahnya cuma akan dipanggil Plekenut atau Sita atau Rara.
Begitu juga Tuhan dari Jawa Timur. Seandainya dia bernama Nama Saya Amir Ciptaan Tuhan, saya yakin ia tetap akan dipangggil Tuhan oleh orang-orang di kampungnya.
Jadi untuk apa kita ngurusi nama orang, eh, nama Tuhan? Toh masih banyak yang harus kita urusi. Misalnya mengusahakan agar sawah tidak kekeringan, kerja keras agar dapur tetap berasap, dsb.
Oh ya, maafkan saya kalau saya beda pendapat soal Tuhan. Sungguuh saya cuma seorang koplak yang selama berpuluh tahun tak habis-habisnya dikoplakkan oleh keadaan-keadaan yang serba koplak.
Sebenarnya masih ada 999 pertanyaan lain untuk Pak Kyai atau orang-orang pintar yang kenyang makan bangku sekolahan. Tapi saya malas melaniutkannya karena takut saya akan makin dikoplak-koplakkan orang-orang yang menganggap dirinya Tuhan.