Gunung Sari, Sepenggal Pagi…
Rumah penduduk di Gunung Sari, Bandarlampung. Oleh Indra Pradnya* Sebagai bagian dari penduduk perkotaan terkadang, saya merasa bosan dengan ritme pekerjaan yang cenderung monoton. Aktivitas rutin dari pagi hingga sore pada hari dan jam k...
| Rumah penduduk di Gunung Sari, Bandarlampung. |
Sebagai bagian dari penduduk perkotaan terkadang, saya merasa bosan dengan ritme pekerjaan yang cenderung monoton. Aktivitas rutin dari pagi hingga sore pada hari dan jam kerja yang terkadang membawa pada titik jemu. Ingin rasanya ‘melarikan diri’ sejenak kesebuah kawasan yang tak pernah saya kunjungi sebelumnya.
Hari masih pagi kala itu. Jam menunjukkan pukul 08.30 WIB. Pagi itu saya ingin merileksasi diri ke sebuah perbukitan yang selalu saya lewati setiap hari kala berangkat kantor tetapi belum pernah saya datangi langsung: Gunung Sari.
Gunung Sari adalah sebuah kawasan padat penduduk di Kota Bandarlampung. Itu adalah permukiman warga yang benar benar berada di atas gunung. Sejak jaman kolonial Belanda kawasan ini telah ada. Bermula dari beberapa rumah di bagian lereng, lama-lama ‘merembat ke atas” hingga ke bagian badan sampai puncak gunung kini dipadati oleh rumah rumah penduduk.
Pagi itu saya masuk ke permukiman Gunung Sari yang merupakan sebuah kelurahan dalam kecamatan Enggal melalui gang Taqwa persis di samping Masjid Taqwa.
Sebenarnya ada banyak jalan sebagai akses masuk ke bagian atas Gunung Sari selain Gang Taqwa. Dengan gang sempit berundak dan jalan setapak, saya menuju bagian atas dari Gunung Sari. Terlihat beberapa warga memarkirkan kendaraan bermotor di bagian rumah di bagian bawah dari kawasan Gunung Sari, atau memarkirkan begitu saja di pinggir jalan.
Karena akses kendaraan tidak sampai puncak dan tak semua rumah memiliki halaman. Di bagian bawah dari kawasan Gunung Sari adalah wilayah ramai dan padat aktivitas. Karena berdekatan dengan Stasiun Kereta Api Tanjungkarang, bangunan pusat perbelanjaan Ramayana dan pasar tengah, Masjid Taqwa, Gereja, Plaza Pos, Bambu Kuning Square, hingga ragam Losmen dan penginapan murah dan jenis pertokoan lainnya.
| Rumah-rumah ‘berserakan’ di punggung Gunung Sari |
Saya putuskan menghentikan langkah di sebuah warung yang masih menyisakan beberapa panganan khas sarapan pagi setelah lelah menaiki anak tangga.
“Silakan mas. Tapi tinggal nasi uduk.” ujar ibu tua penjaja hidangan sarapan dengan senyum ramah menyambut saya yang menghentikan langkah tepat di depan dagangannya.
Sesaat saya iba melihat sang ibu. Ia masih berjualan dalam kondisi yang cukup renta.
“Sekalian buatkan kopi ya Bu…” pinta saya.
“Oh ya … sebentar ya …” ujar ibu tua merapikan beberapa piring.
Ada sosok bapak tua di depan saya. Sesekali ia tersenyum. Sambil menebar gabah kering pada ayam peliharaannya.
“ Ayamnya banyak ya Pak?” saya mencoba ingin tahu.
Si Bapak tertawa cukup lebar. Tak ada satu pun gigi terlihat.
“ Ayam-ayam ini bapak jual ?. Tanya saya kembali sambil mendekatkan badan kearah si bapak tua.
“Mas, bapak tak mendengar apa apa mas.” Ujar Ibu tua menghampiri saya dengan secangkir kopi panas yang baru diseduh.
“Suami saya sudah gak bisa denger apa apa mas!” kata si Ibu Tua dekat kearah saya.
Saya hanya tersenyum sembari menatap lekat kearah bapak tua yang asik dengan ayam -ayam peliharaannya.
“ Ibu dan Bapak, punya putra putri ?” Tanya saya.
“ Anak kami ada 10 mas, tapi sekarang sudah tidak tinggal di sini….” Ibu Tua menatap suaminya. Ada setitik air menggenang di sudut mata si Ibu.
Tak berani saya bertanya lebih lanjut. Sampai si Ibu berkenan melanjutkan sendiri kisahnya.
| Ibu Damila |
Ibu Damila yang merupakan pendatang dari Pulau Jawa dinikahi pak Loso yang merupakan pria kelahiran Lampung – di masa resesi pergantian presiden Soekarno ke presiden Soeharto kala itu. Perpindahan Pak Loso dan ibu Damila di Gunung Sari saat itu belumlah seramai kini. Kisaran tahun 1960an Ibu Damila mengenang suasana Gunung Sari yang tidak terlalu padat seperti sekarang.
Dari teras rumah Ibu Damila saya bisa menyaksikan hamparan bukit hijau yang juga ragam bangunan. Sambil menyeruput kopi, saya menyimak penuturan ibu Damila yang polos. Saya menangkap betapa ia menikmati hari hari nya sebagai warga di permukiman Gunung Sari yang sangat padat kini, meski tak ada satu pun anak yang ia dan suami besarkan tinggal bersamanya. Sepuluh anak Ibu Damila kini pergi merantau keluar kota bahkan yang bungsu bekerja di Malaysia.
Berbincang dengan Ibu Damila dan menyaksikan aktivitas Pak Loso membuat saya memahami kekuatan cinta dua sosok tua renta dalam mengarungi kehidupan masa kini.
| Jalan menuju ‘puncak’ Gunung Saru |
Gunung Sari tak hanya wilayah pemukiman padat penduduk dengan jumlah lebih dari 3.500 jiwa saja. Tetapi juga ribuan kisah menyertainya. Dengan luas wilayah 20 hektare, Gunung Sari bagai sebuah gugusan super padat di tengah perkotaan. Bagian perkotaan yang menyimpan ragam kisah begitupun kehidupan warganya.
Gunung Sari yang juga merupakan bagian lawas dari hiruk pikuk nya masyarakat perkotaan Bandar Lampung yang terus tumbuh seiring dengan kemajuan jaman menjadikan Gunung Sari semakin padat. Jenis gunung berbatu hitam yang ditakutkan akan mengalami longsor atau runtuh itupun seolah semakin kokoh dengan menampung banyaknya rumah rumah yang bersebelahan dengan tipe bangunan acak tak tertata dan pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin banyak.
Mengingat sebuah perbincangan dengan rekan rekan di Kedai Kopi beberapa waktu lalu, seorang rekan – Mas Teguh pernah berharap jika saja gugusan rumah rumah yang dianggap sebagain orang kumuh itu di tata kelola apik dengan sentuhan warna warni bukan tidak mungkin dapat jadi daya tarik wisata dan kunjungan napak tilas sejarah kehidupan perkotaan tempo dulu.
Layaknya daya tarik rumah rumah padat penduduk di perbukitan di kawasan kawasan Eropa, Gunung Sari tak kalah menariknya. Hingga lelah saya menyisir beberapa bagian dari Gunung Sari pun terhibur oleh keramahan warga yang berpapasan dan yang saya temui sembari melihat bentangan perbukitan di kejauhan dan hamparan rumah penduduk beberapa bagian Bandar Lampung.











