Sepak Pojok: Bintang Kehormatan NKRI
Made Supriatma* Tadi pagi, inbox FB saya kedatangan dua pesan. Keduanya mengabarkan bahwa almarhum Romo Petrus Josephus Zoetmulder, S.J. dan Romo Franz Magnis Suseno, S.J. akan menerima anugerah Bintang Kehormatan NKRI. Ada sembilan orang yang akan...

Made Supriatma*
Tadi pagi, inbox FB saya kedatangan dua pesan. Keduanya mengabarkan bahwa almarhum Romo Petrus Josephus Zoetmulder, S.J. dan Romo Franz Magnis Suseno, S.J. akan menerima anugerah Bintang Kehormatan NKRI.
Ada sembilan orang yang akan menerima anugerah itu. Dari kesembilan itu, hanya dua yang belum almarhum. Selain Romo Magnis, yang satunya adalah Goenawan Susatyo Mohammad (Sodara kenal?) Tapi menilik dari usianya kayaknya gelaran tersebut tidak akan jauh-jauh dari rengkuhan mereka berdua ini.
Kedua pengirim inbox tersebut bertanya, bagaimana pendapat saya?
Wah, bagaimana ya? Bukan saya yang memberi Bintang itu. Lagipula, dimana saya cari bintang?
Kenapa kok minta pendapat saya? Balas saya dalam chatting. ‘Karena sampeyan kan pernah menulis artikel anti-Romo Magnis,’ jawabnya. Waduh. Saya tidak tidak anti-Romo Magnis. Saya memang pernah menulis artikel yang kritis terhadap pandangan Romo Magnis, khususnya tentang PKI dan pembantaian 1965.
Saya tidak tahu apa pertimbangan administrasi pemerintahan Jokowi memberikan penghargaan kepada dua tokoh ini. Secara kebetulan, keduanya adalah warga negara Indonesia karena proses naturalisasi. Artinya, mereka menjadi warga negara Indonesia karena proses legal. Sebenarnya ini status yang sama dengan etnik Cina (yang walaupun berabad-abad tinggal di Indonesia) harus menjalani proses naturalisasi untuk menjadi warga negara Indonesia.Jika diterapkan pada kategori etnik keturunan Cina, maka keduanya adalah non-pri.
Yang menarik adalah bahwa keduanya adalah imam Katolik dari konggregasi Serikat Yesus. Ini adalah ‘the Cadillac’ dalam peta konggregasi religious Katolik. Jesuit, demikian mereka dikenal, adalah konggregasi yang memfokuskan diri pada pendidikan. Tidak heran, banyak orang pinter di konggregasi ini. Karena banyak orang pintar maka konggregasi ini pun berkesan agak elit.
Saya sendiri mengenal Jesuit dengan sangat baik. Saya berjumpa dengan manusia-manusia dengan kepribadian terbaik di konggregasi ini. Namun, saya juga berjumpa dengan beberapa manusia (yang menurut hemat saya) berkepribadian terburuk. Syukurnya, yang buruk itu hanya sedikit saja. Sebagian besar mereka adalah orang-orang baik – atau kelihatan baik grin emotikon grin emotikon grin emotikon
Karena Romo Zoetmoelder sudah almarhum maka hanya Romo Magnis yang hidup dan menerima Bintang Kehormatan NKRI ini. Tidak ada keberatan saya terhadap anugerah Bintang ini. Apalah saya kok harus punya keberatan.
Perbedaan saya dengan Romo Magnis pertama-tama adalah soal PKI. Komunisme dan 1965. Saya tahu bahwa Magnis anti-komunis. Itu terlihat dari tulisan-tulisannya. Dia punya pandangan yang sangat spesifik tentang 1965. Dia membersihkan peranan tentara dari pembantaian tahun 1965. Baginya, pembantaian itu hanya tragedi. Massa-rakyatlah yang melakukan pembunuhan. Argumen-argumen Magnis pernah saya tulis dalam sebuah tulisan (saya berikan linknya di bawah).
Magnis bukan sejarahwan. Dia guru filsafat. Saya tidak tahu apakah dia pernah riset serius soal problem filsafat atau tidak. Yang jelas, dia adalah intelektual publik yang rajin menulis di koran (Kompas!). Dan juga menjadi pembicara di seminar-seminar dan TV-TV. Memang itulah fungsi intelektual publik.
Sebenarnya, tidak terlalu susah untuk memahami pandangan Magnis tentang PKI dan 1965. Saya kira, tentang 1965, pandangan-pandangan Magnis tidak berbeda dengan pandangan Josephus Gerardus Beek, S.J. yang akrab dikenal dengan nama Romo Beek. Paling tidak secara garis besar sikap mereka yang anti-komunis mewakili pandangan mainstream kalangan konservatif gereja Katolik pada tahun 1960an terutama gereja Katolik di negara-negara Barat. Agak mustahil juga untuk mengatakan bahwa Magnis tidak mengenal Beek karena ketika dia datang ke Indonesia pada tahun 1961, saat Beek masih sangat aktif dengan Serikat Buruh Pancasila dan Kaderisasi Sebulannya itu.
Sekali lagi, saya tidak tahu alasan administrasi pemerintahan Jokowi memberikan Bintang Kehormatan NKRI ini. Istilah NKRI juga menarik untuk saya karena saya tidak bisa lepas dari bayang-bayang ‘NKRI Harga Mati’ yang menjadi justifikasi untuk membunuhi orang-orang Papua dan Aceh yang dianggap separatis itu.
Tapi bagaimana pun sebuah Bintang adalah sebuah Bintang. Kita ucapkan selamat untuk penerimanya!
*Kandidat doktor ilmu politik, pengelola indoprogress.com. Tingga di Amerika Serikat