Sepak Pojok: Adil

Tomi Lebang Setya Novanto dan Fadly Zon, dua wajah Melayu yang muncul di antara barisan pendukung Donald Trump di Amerika beberapa hari lalu, telah memantik kegaduhan baru di media sosial tanah air. Caci-maki, sindir-menyindir, komentar yang bernas...

Sepak Pojok: Adil

Tomi Lebang

Setya Novanto dan Fadly Zon, dua wajah Melayu yang muncul di antara barisan pendukung Donald Trump di Amerika beberapa hari lalu, telah memantik kegaduhan baru di media sosial tanah air. Caci-maki, sindir-menyindir, komentar yang bernas dan bodoh, juga elakan-elakan halus para pemuja dan meme-meme jenaka, membuat alun-alun dunia maya benar-benar ramai dan semrawut.

Sebenarnya sih, saya juga tidak mengerti benar hubungan kehadiran pemimpin parlemen dari sudut pandang hukum, tata-negara, bahkan aturan protokoler pejabat negara. Tapi saya tak tahan juga untuk menulis status tentang ini. Bekalnya sederhana: sebungkus nasi kuning,… eh, sepenggal dialog Novanto dan Trump serta penjelasan Fadly Zon tentang Trump yang muncul di pikiran orang Indonesia setiap kali membayangkan orang tajir. Wahai….

Dan sesungguhnya ini peristiwa yang tak penting, meski dari orang penting dan terhormat.
Mengapa peduli? Ya, sekadar ingin melihat reaksi orang-orang, terutama yang selama ini memang sungguh rajin mencaci (mereka menyebutnya kritik!), memanas-manasi, berkeluh-kesah, dan tak pernah melewatkan hari tanpa mencari-cari kesalahan pemimpin.

Di urusan Setya Novanto dan Fadly Zon ini ada ujian bagi kejernihan berpikir yang selama ini malah disampirkan kepada mereka yang tak mau menghujat pemimpinnya karena dollar yang terbang dan rupiah yang tak kunjung dibelanjakan.

Berbulan-bulan lamanya segala hujatan dalam aneka isu mereka lontarkan, tapi satu peristiwa tak penting di Amerika Serikat yang menjadi isu publik, sudah memunculkan bukti: “baru dicela segini doang ente sudah blingsatan hehe….”

Tapi ah, sudahlah. Tabiat manusia yang diimpikan Pramudya – “berlaku adil sejak dalam pikiran” – memang hanya petuah dalam novel.

Agar adil, saya membaca buku Anis Matta sajalah, Gelombang Ketiga Indonesia, yang terbit tahun lalu. Tumben, bekas Presiden PKS ini bercerita tentang persaingan dua perusahaan raksasa Amerika: Pepsi dan Coca Cola.

Alkisah, pada April 1985, Coca Cola mengeluarkan produk barunya, New Coke dengan rasa yang lebih manis (mendekati Pepsi) daripada produk sebelumnya. Penggantian citarasa ini untuk menyerang Pepsi yang mulai menggerus pasar minuman Coca Cola. Dalam uji rasa tanpa merek (blind test) tandingan yang melibatkan lebih dari 150.000 orang, sekitar 60 persen responden lebih suka rasa New Coke ini daripada produk Pepsi. Berbekal hasil uji rasa yang obyektif ini, Coca Cola percaya diri melepas New Coke ke pasar.

Tak dinyana, bukan sambutan yang gegap-gempita Coca Cola terima, tapi sambitan pedas cela-cela konsumen yang telah meminum Coca Cola semenjak kecilnya. Sekelompok orang bahkan mengancam akan menempuh jalur hukum class action demi mengembalikan citarasa Coca Cola yang dulu. Bagi pemuja Coca Cola di Amerika, bukan soal citarasa dari blind test semata-mata, tapi di balik produk itu ada tradisi, kebanggaan, simbol, bahkan perlambang sahabat sejati. Tak seorang pun berhak merenggutnya, bahkan perusahaan Coca Cola sendiri.

Coca Cola mengalah. Produk lama, the Classic Cola kembali diproduksi, New Coke dihentikan. Tak ada urusan dengan obyektivitas dari uji rasa yang ilmiah. Blind test hanya mengukur kesadaran manusia, bukan kebanggaan dan pemujaannya.

Uji rasa terhadap Pepsi dan Coca Cola adalah studi kasus yang banyak ditemui di buku-buku tentang produksi, pemasaran bahkan buku motivasi. Tapi saya memilih mengutipnya dari buku Anis Matta, orang Makassar yang pernah jadi Presiden PKS.

— Tebet, 6 September 2015