Cerita Tentang Mat Dra’i dan Bebek Gila
Oyos Saroso H.N. Meskipun dinamakan bebek gila, bebek gila sebenarnya tidak gila. Ia bebek biasa saja. Suka makan dedak, bulir jagung, dan kerak nasi yang sudah dimasak. Jika campuran ketiga bahan itu ditambah dengan konsentrat, bebek betina gila ak...

Oyos Saroso H.N.
Meskipun dinamakan bebek gila, bebek gila sebenarnya tidak gila. Ia bebek biasa saja. Suka makan dedak, bulir jagung, dan kerak nasi yang sudah dimasak. Jika campuran ketiga bahan itu ditambah dengan konsentrat, bebek betina gila akan rajin bertelur.
Bebek gila jelas tak berbahaya. Ia bahkan ditunggu Mat Dra’i, para staf, dan kerabatnya yang sama-sama hobi menyantap menu masakan bebek. Semua jenis masakan bebek pernah disantap Mat Dra’i: bebek tangkap, bebek lari, bebek ngambek, bebek koprol, bebek dangdut, hingga bebek gila.
Mat Dra’i tidak pernah tanya kepada pemilik restoran apakah aneka jenis bebek itu mencerminkan sifat namanya. Maksudnya, Mat Dra’i tidak pernah mengecek apakah menu bebek dangdut itu bebeknya sewaktu masih hidup memang suka joget dangdut. Mat Dra’i percaya saja sama pemilik restoran. Mat Dra’i percaya jenis bebek yang markotop untuk disantap sebagai menu makan siang adalah bukan sekadar bebek biasa.
Semua warga di kampung saya tahu bahwa kegilaan Mat Dra’i kepada bebek sudah tidak ketulungan lagi. Ia pasti akan menyatroni restoran atau warung nasi pinggir jalan di mana pun berada begitu dia mendengar ada menu baru dengan nama aneh dan mengandung unsur bebek.
Maka itu, kalau ada restoran baru mempromosikan bebek janda atau bebek pintar, niscaya Mat Dra’i akan segera memburunya. Tentu ia tidak sendirian. Ia akan datang bersama rombongan.
Para stafnya yang ikut bisa lebih dari selusin. Bagi Mat Dra’i, berapa pun uang harus dia keluarkan tak jadi soal. Asalkan dia bisa merasakan nikmatnya menu bebek dengan aneka rasa: digoreng, dibakar, diopor, dsb. Toh semua uang itu juga tidak berasal dari kantongnya sendiri. Untuk urusan uang buat memuaskan syahwat lidahnya, sudah ada stafnya yang mengatur.
Semua akan dicatat dan dimasukkan dalam ‘belanja lain-lain’ Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK). Kalau masuk pos ‘belanja lain-lain’ dirasa terlalu banyak dan dikira aneh oleh lembaga pemeriksa keuangan, sebagian bisa dialihkan ke pos ‘biaya makan-minum tamu kepala kampung’. Pokoknya semua bisa diatur.
Untuk urusan mengatur, Mat Dra’i memang paling jago. Maklum, sebelum menjadi kepala kampung dia lama punya pengalaman panjang di sebagai centeng pasar. Semua pasar di Negeri Rai Munyuk dia kuasai. Para preman pasar yang jumlahnya mencapai ratusan itu tiap hari akan setor kepada Mat Dra’i.
Sekarang Mat Dra’i adalah kepala kampung di sebuah pojok Negeri Rai Munyuk. Kebiasaan mengatur para preman kini dilanjutkan dengan mengatur para staf. Staf yang ingin naik pangkat menjadi kepala staf harus tahu aturan: mengirim ‘cis’ (baca: uang tanda jadi). Kalau tidak mau atau jumlahnya tidak sesuai kemauan Mat Drai, maka kepala staf itu hanya dikasih waktu beberapa bulan saja untuk menduduki kursinya.
Oh ya, pada musim pemilu kali ini Mat Dra’i sedang harap-harap cemas. Bukan karena dia ditunggu arwah para bebek. Juga bukan karena ada menu baru bercita rasa bebek. Mat Dra’i cemas karena kini sudah banyak warga kampung mulai memanggilnya ‘bapak gila’. Dari bisik-bisik para pembisiknya Mat Dra’i tahu bahwa sebutan untuk dirinya itu merupakan plesetan dari hobinya selama ini mengonsumsi bebek gila. Juga ditambah nafsunya untuk menjadikan empat anaknya sebagai kepala kampung di empat kampung di Negeri Rai Munyuk. Bahkan, salah satu anaknya akan diplot sebagai Kepala Negeri Rai Munyuk.
Tanpa diketahui siapa pun–selain Mat Dra’i sendiri–Mat Dra’i kini benar-benar cemas. Ia merasa sudah gila. Ia menduga kegilaannya itu tersebab oleh hobinya mengonsumsi bebek gila. ***